Halo, LOLs and parabebep. Udah pada makan? Kalo udah, coba sisa makanannya jangan dibuang. Di luaran sana banyak ikan-ikan sama kucing kelaparan. Berbagi, gih. Mereka bisa ambil bagian jadi penolong kamu, lho, di akhirat nanti.
Cukup basa-basinya, ya. Sekarang gue mau bahas cermis nyata yang pernah terjadi di
Pulau Dewata, alias
Bali. Iya bener, LOLs. Kisah mencekam ini gue dengar langsung dari salah satu tamu hotel di
daerah Legian, tempo hari. Namanya Elyas. Cowok seperempat baya asal negeri kangguru. Rambutnya dikepang semi gimbal, bulu alis dicukur, hidung di-piercing, bibir dijahit. Sementara nama hotelnya,
hotel Mertua Indah Sari 3gp (tentu aja nama disamarkan).
Entah kenapa, tiap traveling ke suatu tempat di negeri ini, gue selalu aja tergelitik buat
trying to figure out soal peristiwa-peristiwa aneh atau mitos spooky yang pernah kejadian di tempat tersebut. Kalau nggak nanya sama guidenya, ya nanya sama tamu hotel, penunggu hotel, atau kadang-kadang pengemis tripping pun nggak luput dari wawancara ganas gue.
"Mas, punya cerita serem yang beneran pernah kejadian nggak disini?" atau, "Blih, desas-desus soal Leak itu mitos atau fakta, sih?" atau, "Datuk, tampang Datuk kok serem, ya? Datuk ini orang atau trenggiling?" dan lain semacamnya.
Nah, kebetulan hotel tempat gue mengejakulasikan letih dan lelah ini tetanggaan sama turis asal Australia. Doi jago bahasa portugal, lho. Waktu ngedongengin gue cerita serem yang dialami temen-temennya gitu, doi pake bahasa portugal. Asli, ceritanya miris total. Gue sampe meremang plus berlinang air mata waktu menyimaknya.
"Kamu kenapa nangis, Rons?" Tanya doi.
"Kalo nangis ya sedih. Aaaa, Bibir Paralon!"
"Tapi saya baru mulai beberapa kalimat saja. Kok bisa sampai nangis begitu?" Keponya lagi.
"Justru itu. Gue nggak tau situ ngomong apa. Mana ngerti gue bahasa Portugal!" bentak gue sembari menenggak arak Bali. Sementara dia ngakak nggak jelas sembari ngunyah mushrooms.
Kelakuan ...
Jadi, cerita doi tuh gini.
Mulai serius, dong, ya.
Lokasi: Hotel Menantu Penggoda Mertua 3gp (bukan nama sebenarnya). Legian, Bali. 16 Juli 2011. Jam 3.10 am.
Saat itu, 3 orang sahabat tengah berbaring manja di salah satu kamar hotel family room. Namanya Galla, Mekka, sama Petra. Mereka ini habis dugem di salah satu pub terdekat sambil makan malam dan minum-minum.
Mekka sama Petra cuma butuh 5 menit saja untuk melelapkan diri. Maklum, mereka memang minum paling banyak. Sementara Galla, dia hanya minum anggur Bourbone. Itu pun tidak sampai separuh gelas kecil. Jadi, cuma dia satu-satunya yang masih terjaga saat itu.
Suasana agak gelap. Penerangan hanya berasal dari lampu tidur yang ada di samping Galla. Ranjang ukuran King di kamar itu memang sangat besar. Makanya mereka sengaja tidur di satu ranjang. Bahkan buat sekelurahan pun sepertinya cukup.
Tatapan mata Galla membentur langit-langit kamar. Ukiran khas Bali yang menghiasi sepanjang langit-langit membuat matanya memutar, memerhatikan setiap ukiran yang membentuk sebuah cerita. Goresan halus yang menyerupai pura-pura kecil sedikit memukau matanya. Lalu pandangannya bergeser pelan ke tengah langit-langit, dan menemukan ukiran manusia-manusia yang tampak menyerupai dewa. Bersayap, tangan mengepak, dengan jubah panjang yang tersingkap digerayangi angin.
Tak sampai di situ. Untuk menjemput kantuk yang tak kunjung menepi, Galla masih memerhatikan ukiran-ukiran berkelas itu. Matanya merangsak ke ujung langit-langit yang sejajar dengan meja televisi. Galla melihat ukiran seorang gadis belia tengah berlari kecil sembari tertawa riang. Dari bentuknya, Galla tidak melihat ciri khas yang menunjukkan dia adalah seorang gadis bali. Dari bola matanya yang bulat besar dan rambutnya yang sedikit ikal, justru dia tampak seperti pendatang, atau mungkin turis seperti dirinya. Gadis itu juga mengenakan gaun putih, gelang biji (entah biji apa, karena ukiran itu hanya berwarna putih polos), dan sepatu yang terlihat seperti sepatu balet. Mungkin usianya baru 11 tahun.
Galla masih memperhatikan ukiran sang gadis. Saking detailnya, ukirannya terasa begitu hidup. Galla seakan terbius untuk terus menatapnya. Dia pun tersenyum kecil.
Sejenak, Galla menyambar handphone yang tergolek di meja lampu untuk melihat jam. Lalu kembali menerawang ke langit. Ke arah ukiran si gadis.
Namun, tiba-tiba bulu roma Galla meremang. Entah penglihatannya yang salah, atau memang penerangan yang kurang, dia tidak lagi melihat sang gadis. Ya, Guys. Ukiran indah gadis itu menghilang hanya dalam sekejap. Ukiran tempat dimana bidadari kecil itu berlari, kini hanya berganti langit-langit putih polos. Tak ada lagi ukiran di sana. Namun, ukiran lain yang Galla lihat di sisi lain masih ada. Dewa-dewa dan barisan pura itu masih menghias langit-langit. Hanya gadis itu. Hanya gadis itu yang menghilang.
Galla membeku. Masih dalam posisi berbaring, logikanya gemetar menahan kejanggalan yang mengusik kesendiriannya. Dua sahabat lainnya bukan siapa-siapa. Galla sama sekali tidak bisa menganggap keberadaan mereka. Mereka tengah terlelap total. Sungguh, dia tidak bisa berharap banyak dari dua orang perempuan mabuk itu. Mungkin hanya banjir bandang yang sanggup membangunkan mereka.
Galla memejamkan mata beberapa detik lamanya, lalu membuka kembali kelopaknya seraya menghunuskan tatapannya ke tempat yang sama. Ke tempat dimana ukiran bidadari kecil itu mengusiknya sedari tadi.
Hasilnya?
Ada!
Ukiran gadis itu kembali menampakkan diri di tempat yang sama. Namun, kali ini raut muka sang gadis berubah memuram. Tak ada lagi ceria di rautnya. Tawa sempurna itu menghilang, dan kini berubah menjadi mimik cemas tak terkira.
Lagi-lagi Galla dibuat terhenyak menyaksikan pemandangan itu. Bulu roma yang dibuat meremang, kini semakin berdiri tegak menyiratkan ketakutan. Bagaimana mungkin ukiran itu bisa menghilang dan muncul kembali hanya dalam satu kedipan mata?
Galla menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. Dalam selimut, dia berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang bergemuruh. Ruangan dingin pun tak mampu menyejukkan tubuhnya. Peluh halus mulai mencuat membasahi kulit putihnya.
Setelah menghela nafas panjang beberapa kali, perlahan, Galla mulai membuka selimutnya. Dan, kembali melabuhkan tatapannya ke arah ukiran sang gadis.
Hasilnya?
Hilang.
Lagi. Ukiran bidadari kecil itu lagi-lagi menghilang. Selalu begitu. Kemunculan dan keraibannya tak pelak membuat Galla semakin panik. Seolah dia tengah dipermainkan suasana mistis yang tak masuk akal. Matanya masih menatap tajam ke arah langit-langit polos itu. Dia masih tak bisa memercayai apa yang dihadapinya. Keganjilan itu sukses mematahkan akal sehatnya.
Galla kembali menarik selimutnya. Dalam selimut, dia berusaha membangunkan Petra, yang berbaring tepat di sampingnya. Dia menyerah. Mau tidak mau, Galla harus membuat salah satu dari mereka bangun.
"Ssst!! Pety!! Bangun, Pety!!" Desis Galla sembari mencubit keras pinggul Petra beberapa kali. Tapi, tentu saja usahanya sia-sia. Si perempuan mabuk itu sudah terlalu jauh meninggalkan realita.
Tubuh Galla masih gemetar hebat tatkala rasa penasarannya terbakar. Ini menakutkan, sangat menakutkan. Namun, Galla ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkan gadis itu hingga tak sungkan-sungkan mengganggunya. Setiap raut yang ditunjukkan sang gadis selalu berubah. Kian meruncing. Kian menajam. Apa maksud dari semua ini?
Perlahan, Galla mulai menurunkan selimut magenta itu. Namun, dia belum berani membuka matanya. Jika kelopaknya terbuka, maka bola mata hitamnya akan langsung membentur ukiran si gadis. Raut apa lagi yang bakal dilihatnya kini?
Secepat kilat, Galla pun membuka matanya, dan menabrakan tatapan itu ke arah sang gadis.
Apa yang terjadi kemudian? Jeritan hebat dari mulut Galla pun membahana di kamar mewah itu. Jeritan yang menyiratkan keterkejutan yang sulit diuraikan lewat kata. Jeritan yang menyiratkan ketakutan yang memuncak, lebih tinggi dari puncak gunung!
Masih menempel di langit-langit, ukiran bidadari kecil itu kini terlihat jauh lebih besar. Posisi tangannya seperti hendak menerkam. Mulutnya menyeringai, matanya melotot tajam tepat ke arah dimana Galla membenturkan tatapannya. Pandangan kedua pasang mata itu bertemu, hingga membuat jeritan Galla membuncah tak terelakkan.
Lalu, siapa gadis kecil itu?
Lokasi: Hotel dan room yang sama, di Legian, Bali. 12 oktober, 2002. Jam 11.15 pm.
Seorang gadis bule nan cantik terjaga dari tidurnya. Matanya menatap kesana kemari untuk mencari seseorang.
"Mamaaaa ...!" teriaknya.
Namun, seperti missed call, panggilan gadis itu tidak terjawab. Dengan gontai, dia pun melangkah menghampiri meja televisi untuk melihat secarik kertas yang berisi tulisan dari mamanya.
"Sayang, Mama keluar dulu, ya. Tadinya mau ajak kamu, tapi kelihatannya kamu capek sekali. Mama tidak tega membangunkanmu. Kamu jangan takut. Makanan sudah Mama siapkan di kulkas. Jangan kemana-mana, ya. Mungkin Mama akan kembali sebelum kamu bangun. Peluk cium. Mama."
Begitulah isi pesan yang ditinggalkan mamanya. Sesaat kemudian, gadis itu menggemeretakkan giginya, menahan sedih.. Dan marah. Bagaimana mungkin mamanya tega meninggalkan dia sendirian di kamar hotel. Padahal sang mama tahu, dia sangat penakut. Selalu begitu. Di rumahnya di
Canberra pun, mamanya sering meninggalkannya di rumah. Memang tidak ditinggal sendirian. Mamanya selalu meminta pengasuh
freelance buat menemani sang gadis. Tapi tetap saja, si gadis tidak pernah suka mamanya melakukan itu.
Dan sekarang, mamanya melakukannya lagi. Meninggalkannya di di kamar hotel luas sendirian, di tengah malam pula. Bagaimana mungkin mamanya begitu tega?
Maklum, watak perempuan hedonis memang begitu. Terkadang, mereka cacat membedakan antara prioritas dan egoitas.
Gadis belia itu buru-buru mengenakan gaun pendeknya, lalu dengan tergesa segera meninggalkan family room tersebut dengan sepatu balet di kakinya. Di tangan kirinya juga tampak gelang biji gebang dwiwarna, menghiasi pergelangannya. Dia harus menemukan mamanya untuk protes mengenai kebiasaan buruknya.
Sang gadis tahu apa yang paling gemar dilakukan mamanya jika beliau keluar malam. Tidak jauh dan tidak bukan: dugem, hura-hura, mabuk-mabukan. Jika gadis itu harus menunggu di hotel, mamanya tidak bakalan balik sampai besok pagi. Itu pun selalu dihantar orang asing sembari dibopong.
"Sir, dimana aku bisa menemukan Night Club terdekat dari sini?" tanya gadis itu pada seorang pemuda lokal. Tentu saja dalam bahasa Inggris.
"Oh, Night Club di sini ada dimana-mana, Dek. Kamu bisa coba ke Night Club yang di ujung sana, ya. Tempatnya paling oke. Adek pasti suka," jawab si pemuda.
Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu pun bergegas menuju Night Club yang dimaksud. Memang tidak jauh. Jaraknya hanya 100-an meter dari hotel.
Beberapa saat kemudian, sang gadis pun berdiri tepat di depan pintu masuk pub itu. Rautnya ditekuk hingga berlipat-lipat. Di antara lautan manusia yang lalu lalang keluar masuk, bagaimana dia bisa menemukan sang mama? Bunyi musik yang memekakkan telinga dan sorot lampu-lampu yang mengerjap, membuat gadis itu merasa semakin risih dan jengah. Tipis harapannya untuk menemukan sang mama. Air mata si gadis pun tak terasa mengambang di pelupuknya.
"Mama ... Where are you?" dengus sang gadis. Tidak dengan teriakan. Hanya suara gumaman yang melukiskan kegelisahan. Gadis itu menyeka air matanya yang jatuh. Kesedihan dan amarah tergores jelas di raut mungilnya. Pilu.
Dengan gontai, gadis itu pun membalikkan tubuhnya untuk kembali ke hotel. Suasana yang tidak seperti dugaannya, membuat dia menyerah begitu saja.
Namun tidak sampai tiga langkah kemudian, gadis itu sempat menghentikan ayunan kakinya tatkala .... suara ledakan hebat menggelegar, pecah menggaung hingga ke langit. Begitu dahsyatnya bunyi ledakan itu, hingga tak menyisakan segenggam benda pun tetap utuh pada bentuk dan tempatnya.
Berantakan. Luluh lantak. Hangus.
Suara hingar dan gemerlap lampu-lampu disko itu kini berubah menjadi lautan api dan jeritan pilu yang mengguncang. Api menjilat ratusan tubuh manusia. Asap hitam membumbung tinggi ke langit, membentuk awan mendung yang mengisyaratkan kepedihan. Mayat-mayat bergelimangan. Darah dan potongan tubuh manusia berserakan bak pecahan kaca.
Tak jauh dari lokasi ledakan, sebuah tangan tampak tergolek, memerah oleh darah. Dia telah terpisah dari tubuhnya. Dia tangan yang mungil. Dia tangan yang tak berdosa. Sesaat jarinya terlihat sedikit menghentak sebelum akhirnya benar-benar kaku dan diam, tak bergerak.
Suara hingar dan gemerlap lampu-lampu disko itu kini berubah menjadi lautan api dan jeritan pilu yang mengguncang. Di sana ada selonjor tangan tak berdosa. Tangan mungil yang dihiasi gelang biji gebang dwiwarna nan indah.
Dia telah terpisah dari tubuhnya.
Dia telah terpisah dalam pencarian induknya.
---------------------------------------------------------------
Gue sempat menahan nafas waktu si Elyas nyeritain kisah mencekamnya. Nama bidadari kecil itu Chrissy. Usianya 11 tahun saat dia menjadi salah satu korban keganasan Bom Bali di sana. Waktu Chrissy keluar dari hotel, dia sempat minta izin sama petugas yang berjaga di lobby buat keluar. Dan, rupanya Chrissy pergi bukan untuk menjemput sang mama, melainkan ajalnya.
Terus kabar mamanya Chrissy gimana? Mamanya selamat. Saat kejadian, beliau lagi ada di pub lain. Sang mama nyaris gila saat balik ke hotel, dia nggak menemukan putrinya. Kemudian, dia bener-bener sakit jiwa saat firasat buruknya terbukti. Chrissy tewas dalam tragedi mematikan itu.'Hikmah' yang pantas untuk didapat oleh seorang ibu yang mengabaikan buah hatinya.
Sampai sekarang, di hotel tempat dimana Chrissy check in, sering ditemuin hal-hal ganjil.
Menurut salah satu pegawai hotel yang gue desak, beberapa tamu yang udah-udah bahkan pernah melihat penampakan sang gadis. Kalo nggak di toilet, ya mondar mandir berupa bayangan hitam di kamar yang bersangkutan.
Termasuk pengalaman mencekam Galla. Sesaat setelah diteror melalui penampakan ukiran si gadis, mereka langsung check out keesokan paginya. Tentunya setelah mendengar penjelasan soal keganjilan itu. Itulah yang mereka ceritain ke Elyas, yang kemudian diceritain lagi ke gue. Pokoknya, udah jadi rahasia umum lah.
Harusnya kamar itu nggak perlu dipake kalau aja kamar-kamar lain nggak penuh. Jelang musim liburan, hotel-hotel di wilayah
Legian emang kayak gelas isi cendol. Penuh.
Omong-omong, tragedi bom Bali adalah kasus terorisme terparah sepanjang sejarah di negeri ini; yang sempat mencoreng keras nama
Indonesia, LOLs.
Waktu visit ke sana, gue sempat nengok Monumen Bom Bali, dan ngelihat nama-nama korban yang diukir di batu marmer hitam. Korban terbanyak memang turis asal
Australia, lalu disusul oleh turis setanah air dan pribumi. Sementara korban terbanyak ketiga ditempati turis-turis asal inggris.
Mengheningkan cipta dulu, yok, sebentar. Kita mengenang Tragedi 12 Oktober sesaat saja. Kirim sebait doa buat kedamaian semua korban yang udah RIP di sana. Semoga kehidupan kekal yang tengah dijalani hingga sekarang, lebih baik daripada kehidupan sebelumnya yang sudah ditinggalkan..
Semoga hikmahnya bisa bikin hidup kita lebih baik, ya. Lebih terarah, dan yang nggak kalah pentingnya, bisa lebih menghargai kehidupan, sebelum kehidupan.
Turn to God, before you return to God.
Cerita di atas bener-bener diilhami dari insiden nyata. Tidak ada orang yang sanggup melupakan tragedi berdarah itu, kan?
Beklah.
Sekian dulu, ya, cermis dari gue kali ini. Yang mau komentar, silakan di box comment. Babay~
*kecup horizontal*