Thursday, March 28, 2013

12 Oktober




Halo, LOLs and parabebep. Udah pada makan? Kalo udah, coba sisa makanannya jangan dibuang. Di luaran sana banyak ikan-ikan sama kucing kelaparan. Berbagi, gih. Mereka bisa ambil bagian jadi penolong kamu, lho, di akhirat nanti.

Cukup basa-basinya, ya. Sekarang gue mau bahas cermis nyata yang pernah terjadi di Pulau Dewata, alias Bali. Iya bener, LOLs. Kisah mencekam ini gue dengar langsung dari salah satu tamu hotel di daerah Legian, tempo hari. Namanya Elyas. Cowok seperempat baya asal negeri kangguru. Rambutnya dikepang semi gimbal, bulu alis dicukur, hidung di-piercing, bibir dijahit. Sementara nama hotelnya, hotel Mertua Indah Sari 3gp (tentu aja nama disamarkan).

Entah kenapa, tiap traveling ke suatu tempat di negeri ini, gue selalu aja tergelitik buat trying to figure out soal peristiwa-peristiwa aneh atau mitos spooky yang pernah kejadian di tempat tersebut. Kalau nggak nanya sama guidenya, ya nanya sama tamu hotel, penunggu hotel, atau kadang-kadang pengemis tripping pun nggak luput dari wawancara ganas gue.

"Mas, punya cerita serem yang beneran pernah kejadian nggak disini?" atau, "Blih, desas-desus soal Leak itu mitos atau fakta, sih?" atau, "Datuk, tampang Datuk kok serem, ya? Datuk ini orang atau trenggiling?" dan lain semacamnya.

Nah, kebetulan hotel tempat gue mengejakulasikan letih dan lelah ini tetanggaan sama turis asal Australia. Doi jago bahasa portugal, lho. Waktu ngedongengin gue cerita serem yang dialami temen-temennya gitu, doi pake bahasa portugal. Asli, ceritanya miris total. Gue sampe meremang plus berlinang air mata waktu menyimaknya.

"Kamu kenapa nangis, Rons?" Tanya doi.

"Kalo nangis ya sedih. Aaaa, Bibir Paralon!"

"Tapi saya baru mulai beberapa kalimat saja. Kok bisa sampai nangis begitu?" Keponya lagi.

"Justru itu. Gue nggak tau situ ngomong apa. Mana ngerti gue bahasa Portugal!" bentak gue sembari menenggak arak Bali. Sementara dia ngakak nggak jelas sembari ngunyah mushrooms.

Kelakuan ...

Jadi, cerita doi tuh gini.

Mulai serius, dong, ya.

Lokasi: Hotel Menantu Penggoda Mertua 3gp (bukan nama sebenarnya). Legian, Bali. 16 Juli 2011. Jam 3.10 am.

Saat itu, 3 orang sahabat tengah berbaring manja di salah satu kamar hotel family room. Namanya Galla, Mekka, sama Petra. Mereka ini habis dugem di salah satu pub terdekat sambil makan malam dan minum-minum.

Mekka sama Petra cuma butuh 5 menit saja untuk melelapkan diri. Maklum, mereka memang minum paling banyak. Sementara Galla, dia hanya minum anggur Bourbone. Itu pun tidak sampai separuh gelas kecil. Jadi, cuma dia satu-satunya yang masih terjaga saat itu.

Suasana agak gelap. Penerangan hanya berasal dari lampu tidur yang ada di samping Galla. Ranjang ukuran King di kamar itu memang sangat besar. Makanya mereka sengaja tidur di satu ranjang. Bahkan buat sekelurahan pun sepertinya cukup.

Tatapan mata Galla membentur langit-langit kamar. Ukiran khas Bali yang menghiasi sepanjang langit-langit membuat matanya memutar, memerhatikan setiap ukiran yang membentuk sebuah cerita. Goresan halus yang menyerupai pura-pura kecil sedikit memukau matanya. Lalu pandangannya bergeser pelan ke tengah langit-langit, dan menemukan ukiran manusia-manusia yang tampak menyerupai dewa. Bersayap, tangan mengepak, dengan jubah panjang yang tersingkap digerayangi angin.

Tak sampai di situ. Untuk menjemput kantuk yang tak kunjung menepi, Galla masih memerhatikan ukiran-ukiran berkelas itu. Matanya merangsak ke ujung langit-langit yang sejajar dengan meja televisi. Galla melihat ukiran seorang gadis belia tengah berlari kecil sembari tertawa riang. Dari bentuknya, Galla tidak melihat ciri khas yang menunjukkan dia adalah seorang gadis bali. Dari bola matanya yang bulat besar dan rambutnya yang sedikit ikal, justru dia tampak seperti pendatang, atau mungkin turis seperti dirinya. Gadis itu juga mengenakan gaun putih, gelang biji (entah biji apa, karena ukiran itu hanya berwarna putih polos), dan sepatu yang terlihat seperti sepatu balet. Mungkin usianya baru 11 tahun.

Galla masih memperhatikan ukiran sang gadis. Saking detailnya, ukirannya terasa begitu hidup. Galla seakan terbius untuk terus menatapnya. Dia pun tersenyum kecil.

Sejenak, Galla menyambar handphone yang tergolek di meja lampu untuk melihat jam. Lalu kembali menerawang ke langit. Ke arah ukiran si gadis.

Namun, tiba-tiba bulu roma Galla meremang. Entah penglihatannya yang salah, atau memang penerangan yang kurang, dia tidak lagi melihat sang gadis. Ya, Guys. Ukiran indah gadis itu menghilang hanya dalam sekejap. Ukiran tempat dimana bidadari kecil itu berlari, kini hanya berganti langit-langit putih polos. Tak ada lagi ukiran di sana. Namun, ukiran lain yang Galla lihat di sisi lain masih ada. Dewa-dewa dan barisan pura itu masih menghias langit-langit. Hanya gadis itu. Hanya gadis itu yang menghilang.

Galla membeku. Masih dalam posisi berbaring, logikanya gemetar menahan kejanggalan yang mengusik kesendiriannya. Dua sahabat lainnya bukan siapa-siapa. Galla sama sekali tidak bisa menganggap keberadaan mereka. Mereka tengah terlelap total. Sungguh, dia tidak bisa berharap banyak dari dua orang perempuan mabuk itu. Mungkin hanya banjir bandang yang sanggup membangunkan mereka.

Galla memejamkan mata beberapa detik lamanya, lalu membuka kembali kelopaknya seraya menghunuskan tatapannya ke tempat yang sama. Ke tempat dimana ukiran bidadari kecil itu mengusiknya sedari tadi.

Hasilnya?

Ada!

Ukiran gadis itu kembali menampakkan diri di tempat yang sama. Namun, kali ini raut muka sang gadis berubah memuram. Tak ada lagi ceria di rautnya. Tawa sempurna itu menghilang, dan kini berubah menjadi mimik cemas tak terkira.

Lagi-lagi Galla dibuat terhenyak menyaksikan pemandangan itu. Bulu roma yang dibuat meremang, kini semakin berdiri tegak menyiratkan ketakutan. Bagaimana mungkin ukiran itu bisa menghilang dan muncul kembali hanya dalam satu kedipan mata?

Galla menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. Dalam selimut, dia berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang bergemuruh. Ruangan dingin pun tak mampu menyejukkan tubuhnya. Peluh halus mulai mencuat membasahi kulit putihnya.

Setelah menghela nafas panjang beberapa kali, perlahan, Galla mulai membuka selimutnya. Dan, kembali melabuhkan tatapannya ke arah ukiran sang gadis.

Hasilnya?

Hilang.

Lagi. Ukiran bidadari kecil itu lagi-lagi menghilang. Selalu begitu. Kemunculan dan keraibannya tak pelak membuat Galla semakin panik. Seolah dia tengah dipermainkan suasana mistis yang tak masuk akal. Matanya masih menatap tajam ke arah langit-langit polos itu. Dia masih tak bisa memercayai apa yang dihadapinya. Keganjilan itu sukses mematahkan akal sehatnya.

Galla kembali menarik selimutnya. Dalam selimut, dia berusaha membangunkan Petra, yang berbaring tepat di sampingnya. Dia menyerah. Mau tidak mau, Galla harus membuat salah satu dari mereka bangun.

"Ssst!! Pety!! Bangun, Pety!!" Desis Galla sembari mencubit keras pinggul Petra beberapa kali. Tapi, tentu saja usahanya sia-sia. Si perempuan mabuk itu sudah terlalu jauh meninggalkan realita.

Tubuh Galla masih gemetar hebat tatkala rasa penasarannya terbakar. Ini menakutkan, sangat menakutkan. Namun, Galla ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkan gadis itu hingga tak sungkan-sungkan mengganggunya. Setiap raut yang ditunjukkan sang gadis selalu berubah. Kian meruncing. Kian menajam. Apa maksud dari semua ini?

Perlahan, Galla mulai menurunkan selimut magenta itu. Namun, dia belum berani membuka matanya. Jika kelopaknya terbuka, maka bola mata hitamnya akan langsung membentur ukiran si gadis. Raut apa lagi yang bakal dilihatnya kini?

Secepat kilat, Galla pun membuka matanya, dan menabrakan tatapan itu ke arah sang gadis.

Apa yang terjadi kemudian? Jeritan hebat dari mulut Galla pun membahana di kamar mewah itu. Jeritan yang menyiratkan keterkejutan yang sulit diuraikan lewat kata. Jeritan yang menyiratkan ketakutan yang memuncak, lebih tinggi dari puncak gunung!

Masih menempel di langit-langit, ukiran bidadari kecil itu kini terlihat jauh lebih besar. Posisi tangannya seperti hendak menerkam. Mulutnya menyeringai, matanya melotot tajam tepat ke arah dimana Galla membenturkan tatapannya. Pandangan kedua pasang mata itu bertemu, hingga membuat jeritan Galla membuncah tak terelakkan.

Lalu, siapa gadis kecil itu?


Lokasi: Hotel dan room yang sama, di Legian, Bali. 12 oktober, 2002. Jam 11.15 pm.

Seorang gadis bule nan cantik terjaga dari tidurnya. Matanya menatap kesana kemari untuk mencari seseorang.

"Mamaaaa ...!" teriaknya.

Namun, seperti missed call, panggilan gadis itu tidak terjawab. Dengan gontai, dia pun melangkah menghampiri meja televisi untuk melihat secarik kertas yang berisi tulisan dari mamanya.

"Sayang, Mama keluar dulu, ya. Tadinya mau ajak kamu, tapi kelihatannya kamu capek sekali. Mama tidak tega membangunkanmu. Kamu jangan takut. Makanan sudah Mama siapkan di kulkas. Jangan kemana-mana, ya. Mungkin Mama akan kembali sebelum kamu bangun. Peluk cium. Mama."

Begitulah isi pesan yang ditinggalkan mamanya. Sesaat kemudian, gadis itu menggemeretakkan giginya, menahan sedih.. Dan marah. Bagaimana mungkin mamanya tega meninggalkan dia sendirian di kamar hotel. Padahal sang mama tahu, dia sangat penakut. Selalu begitu. Di rumahnya di Canberra pun, mamanya sering meninggalkannya di rumah. Memang tidak ditinggal sendirian. Mamanya selalu meminta pengasuh freelance buat menemani sang gadis. Tapi tetap saja, si gadis tidak pernah suka mamanya melakukan itu.

Dan sekarang, mamanya melakukannya lagi. Meninggalkannya di di kamar hotel luas sendirian, di tengah malam pula. Bagaimana mungkin mamanya begitu tega?

Maklum, watak perempuan hedonis memang begitu. Terkadang, mereka cacat membedakan antara prioritas dan egoitas.

Gadis belia itu buru-buru mengenakan gaun pendeknya, lalu dengan tergesa segera meninggalkan family room tersebut dengan sepatu balet di kakinya. Di tangan kirinya juga tampak gelang biji gebang dwiwarna, menghiasi pergelangannya. Dia harus menemukan mamanya untuk protes mengenai kebiasaan buruknya.

Sang gadis tahu apa yang paling gemar dilakukan mamanya jika beliau keluar malam. Tidak jauh dan tidak bukan: dugem, hura-hura, mabuk-mabukan. Jika gadis itu harus menunggu di hotel, mamanya tidak bakalan balik sampai besok pagi. Itu pun selalu dihantar orang asing sembari dibopong.

"Sir, dimana aku bisa menemukan Night Club terdekat dari sini?" tanya gadis itu pada seorang pemuda lokal. Tentu saja dalam bahasa Inggris.

"Oh, Night Club di sini ada dimana-mana, Dek. Kamu bisa coba ke Night Club yang di ujung sana, ya. Tempatnya paling oke. Adek pasti suka," jawab si pemuda.

Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu pun bergegas menuju Night Club yang dimaksud. Memang tidak jauh. Jaraknya hanya 100-an meter dari hotel.

Beberapa saat kemudian, sang gadis pun berdiri tepat di depan pintu masuk pub itu. Rautnya ditekuk hingga berlipat-lipat. Di antara lautan manusia yang lalu lalang keluar masuk, bagaimana dia bisa menemukan sang mama? Bunyi musik yang memekakkan telinga dan sorot lampu-lampu yang mengerjap, membuat gadis itu merasa semakin risih dan jengah. Tipis harapannya untuk menemukan sang mama. Air mata si gadis pun tak terasa mengambang di pelupuknya.

"Mama ... Where are you?" dengus sang gadis. Tidak dengan teriakan. Hanya suara gumaman yang melukiskan kegelisahan. Gadis itu menyeka air matanya yang jatuh. Kesedihan dan amarah tergores jelas di raut mungilnya. Pilu.

Dengan gontai, gadis itu pun membalikkan tubuhnya untuk kembali ke hotel. Suasana yang tidak seperti dugaannya, membuat dia menyerah begitu saja.

Namun tidak sampai tiga langkah kemudian, gadis itu sempat menghentikan ayunan kakinya tatkala .... suara ledakan hebat menggelegar, pecah menggaung hingga ke langit. Begitu dahsyatnya bunyi ledakan itu, hingga tak menyisakan segenggam benda pun tetap utuh pada bentuk dan tempatnya.

Berantakan. Luluh lantak. Hangus.

Suara hingar dan gemerlap lampu-lampu disko itu kini berubah menjadi lautan api dan jeritan pilu yang mengguncang. Api menjilat ratusan tubuh manusia. Asap hitam membumbung tinggi ke langit, membentuk awan mendung yang mengisyaratkan kepedihan. Mayat-mayat bergelimangan. Darah dan potongan tubuh manusia berserakan bak pecahan kaca.

Tak jauh dari lokasi ledakan, sebuah tangan tampak tergolek, memerah oleh darah. Dia telah terpisah dari tubuhnya. Dia tangan yang mungil. Dia tangan yang tak berdosa. Sesaat jarinya terlihat sedikit menghentak sebelum akhirnya benar-benar kaku dan diam, tak bergerak.

Suara hingar dan gemerlap lampu-lampu disko itu kini berubah menjadi lautan api dan jeritan pilu yang mengguncang. Di sana ada selonjor tangan tak berdosa. Tangan mungil yang dihiasi gelang biji gebang dwiwarna nan indah.

Dia telah terpisah dari tubuhnya.

Dia telah terpisah dalam pencarian induknya.

---------------------------------------------------------------

Gue sempat menahan nafas waktu si Elyas nyeritain kisah mencekamnya. Nama bidadari kecil itu Chrissy. Usianya 11 tahun saat dia menjadi salah satu korban keganasan Bom Bali di sana. Waktu Chrissy keluar dari hotel, dia sempat minta izin sama petugas yang berjaga di lobby buat keluar. Dan, rupanya Chrissy pergi bukan untuk menjemput sang mama, melainkan ajalnya.

Terus kabar mamanya Chrissy gimana? Mamanya selamat. Saat kejadian, beliau lagi ada di pub lain. Sang mama nyaris gila saat balik ke hotel, dia nggak menemukan putrinya. Kemudian, dia bener-bener sakit jiwa saat firasat buruknya terbukti. Chrissy tewas dalam tragedi mematikan itu.'Hikmah' yang pantas untuk didapat oleh seorang ibu yang mengabaikan buah hatinya.


Sampai sekarang, di hotel tempat dimana Chrissy check in, sering ditemuin hal-hal ganjil.

Menurut salah satu pegawai hotel yang gue desak, beberapa tamu yang udah-udah bahkan pernah melihat penampakan sang gadis. Kalo nggak di toilet, ya mondar mandir berupa bayangan hitam di kamar yang bersangkutan.

Termasuk pengalaman mencekam Galla. Sesaat setelah diteror melalui penampakan ukiran si gadis, mereka langsung check out keesokan paginya. Tentunya setelah mendengar penjelasan soal keganjilan itu. Itulah yang mereka ceritain ke Elyas, yang kemudian diceritain lagi ke gue. Pokoknya, udah jadi rahasia umum lah.

Harusnya kamar itu nggak perlu dipake kalau aja kamar-kamar lain nggak penuh. Jelang musim liburan, hotel-hotel di wilayah Legian emang kayak gelas isi cendol. Penuh.


Omong-omong, tragedi bom Bali adalah kasus terorisme terparah sepanjang sejarah di negeri ini; yang sempat mencoreng keras nama Indonesia, LOLs.

Waktu visit ke sana, gue sempat nengok Monumen Bom Bali, dan ngelihat nama-nama korban yang diukir di batu marmer hitam. Korban terbanyak memang turis asal Australia, lalu disusul oleh turis setanah air dan pribumi. Sementara korban terbanyak ketiga ditempati turis-turis asal inggris.

Mengheningkan cipta dulu, yok, sebentar. Kita mengenang Tragedi 12 Oktober sesaat saja. Kirim sebait doa buat kedamaian semua korban yang udah RIP di sana. Semoga kehidupan kekal yang tengah dijalani hingga sekarang, lebih baik daripada kehidupan sebelumnya yang sudah ditinggalkan..

Semoga hikmahnya bisa bikin hidup kita lebih baik, ya. Lebih terarah, dan yang nggak kalah pentingnya, bisa lebih menghargai kehidupan, sebelum kehidupan.

Turn to God, before you return to God.

Cerita di atas bener-bener diilhami dari insiden nyata. Tidak ada orang yang sanggup melupakan tragedi berdarah itu, kan?

Beklah.

Sekian dulu, ya, cermis dari gue kali ini. Yang mau komentar, silakan di box comment. Babay~

*kecup horizontal*

Monday, February 11, 2013

Bedah Buku The Fabulous Udin.




Bismillah ...

Assalamualaikum, LOLs. Gimana kabar kalian hari ini? Mudah-mudahan selalu bersyukur apapun keadaannya, ya. Ehm.

Setelah--alhamdulillah--lumayan sukses dengan project iseng gue di buku pertama (buku Wow Konyol), sekarang gue kembali mencoba mengulang kisah manis dengan mengeluarkan buku ke-2. Kali ini bukan project iseng lagi. Gue menggarapnya dengan sangat serius, pakai hati dan sangat hati-hati. Buku ini berkonsep novel kisah yang dikasih tajuk The Fabulous Udin. Kisah kolosal dari seorang pemuda tanggung yang berjuang memudahkan hidup orang lain, dan bukan hidupnya sendiri. 

Bukan, si Udin bukan bocah tajir. Dia memudahkan semua dengan akal dan imajinasi, bukan dengan harta kekayaan.

Kenapa harus Udin? Kenapa bukan Gabriel, Galileo, Galapagos, Genderuwo atau Gigolo gitu biar megah? Udin itu nama yang terlalu mainstream dan cenderung norak. Kenapa harus Udin?

Oke. Jawabannya simple aja. Karena semua pembaca buku gue sudah sangat akrab dengan nama tokoh yang satu ini. Di timeline, di buku Wow Konyol dan di setiap kotak tawa yang menggema, Udin lah salah satu tokoh ter-sentral yang banyak mempengaruhi situasi.  Ulahnya, kekonyolannya, kebodohannya, ke-nyentrik-annya, hingga kelancangannya tak urung selalu menciptakan suasana meriah yang kadang tidak terkendali. Umm, kadang-kadang mesum juga soalnya. Udin memang sebuah nama yang jauh dari kata keren. Tapi di sinilah pepatah 'apalah arti sebuah nama' mulai bisa dijunjung tinggi.

Kenapa? Karena karakter baru yang gue bangun melalui nama ini bukanlah karakter biasa. Tidak sempurna memang, tapi juga tidak biasa. Segala sesuatu yang dikisahkan melalui The Fabulous Udin akan membuat nama yang biasa ini menjadi tidak biasa tentu saja.

Memangnya si Udin ini sehebat apa, sih? Segenius apa dia? Ulah apa saja yang dia perbuat sampai membuat semua orang jatuh cinta? Umm, dia ganteng, nggak?

Oke, langsung aja gue paparkan sinopsisnya, ya. Ringkasan cerita bikinan gue yang juga direkomendasikan sama penerbitnya, @bentangpustaka.

Colekidot:

Sinopsis The Fabulous Udin.

Pernahkah kamu merasa aman saat berada dekat sahabat? Pernahkah kamu merasa semua kesulitan tak ada artinya saat ia ada dan dekat? Dan pernahkah ketakutanmu tiba-tiba saja lenyap saat ia tersenyum dan mendekapmu erat-erat?

Udin, seorang bocah social genius yang belum mengenal dirinya sendiri ini mampu menumbuhkan semua perasaan itu. Rasa kagum saat ia berhasil memecahkan masalah semua insani. Rasa takjub saat kecerdasannya berhasil mengendalikan situasi. Rasa sukacita saat ia menaklukkan kebekuan hati. Rasa berbunga saat ia mengalunkan nada puisi. Hingga rasa cinta dan tergila-gila saat ia memenangkan sayembara untuk pertama kali. Iya. Sayembara.

Udin bukanlah bocah genius dalam bidang akademis, melainkan sosialis. Pemuda tanggung yang bahkan belum berani bermimpi ini memiliki pemikiran dan pemahaman sosial yang tidak biasa untuk bocah seusianya. Pemikiran dan pemahaman yang tidak biasa, bukan luar biasa. Dingin. Tak bisa ditebak. Berbisa.

Bagaimana tingkah anehnya mampu menampilkan banyak pertunjukan hebat? Bagaimana ulah nyelenehnya sanggup menaklukkan hati yang sekarat? Dan bagaimana titik terlemahnya dilumpuhkan oleh seorang gadis mungil yang selalu membuatnya merasa kecil?

Udin, pemuda tanggung yang sudah ditinggal oleh bapaknya sejak kecil ini tidak akan membuatmu beranjak sebelum menghabiskan lembar terakhir dari kisah-kisahnya yang menggetarkan hati.

Udin. Semua seakan mudah saat ia ada.
                                     

                                                                ****

Kira-kira begitu sinopsinya, LOLs. Mudah-mudahan cukup membangkitkan rasa penasaran kalian buat nyimak kisah selengkapnya, ya. Mehehe ...

Nah, si Udin, si Inong, si Jeki sama si Ucup ini adalah 4 sahabat kental yang menjadi tokoh sentral di The Fabulous Udin. Sekarang mereka sudah mulai beranjak gedek dan mulai mengenal apa itu yang dinamakan jatuh cinta. Yap yap. Jatuh cinta. 

Cinta memang tidak pernah mengenal batas untuk dibahas. Bahkan, di dunia ini hanya ada dua hal yang paling tidak berujung. Dia adalah cinta dan alam semesta. Dan, gue nggak begitu yakin dengan alam semesta. 

Termasuk trik dan intrik cinta-segitiga-monyet dalam novel ini. Kehadiran seorang gadis mungil nan cantik namun angkuh, dingin dan gengsian mampu membalikkan keadaan hingga dalam taraf yang tidak terduga. Keadaan yang lebih baik, atau sebaliknya? Lalu, siapa dia? Apakah Udin jatuh cinta padanya? Lalu, mampukah dia menaklukkan hati sang gadis? Entahlah. Bagi Udin, urusan cinta seribu kali lebih rumit daripada urusan perut. Menyelamatkan nyawa orang lebih mudah dilakukan ketimbang menyatakan cinta. Dan, mengatasi masalah segenting apapun lebih mudah dikendalikan ketimbang mengendalikan perasaannya sendiri. 

Tapi pada akhirnya, cinta sejati, sejatinya tidak mengenal dusta. Saat dia tidak memberimu apa-apa, kamu merasa telah menerima segalanya. Saat dia tidak melakukan apa-apa, hatimu menjerit dan menangis histeris untuknya.

Seperti yang dialami sang gadis. Dalam keheningan dan dinginnya angin pesisir, seluruh prinsip gila dan pandangan ekstrim yang membangun kepribadiannya, seketika runtuh hanya gara-gara sebaris kata yang terucap dari bibir Udin. Bahkan si Udin sendiri tidak pernah sadar ulahnya kerap membuat sang gadis semakin menderita ... Karena cinta.

Nah lo, si Udin ngomong apa, tuh, sampai-sampai bikin anak orang kelojotan? Rahasia. Mehehe ...

Yang pasti, kehadiran sang gadis dalam kehidupan keempat sahabat itu bakal jadi pemanis legit yang menghidupkan cerita. 

Dengan ketinggian mencapai 400 halaman, tentunya masih masih masih banyak adegan, plus kejutan yang bisa kamu temukan. Bagaimana si Udin menyelamatkan nyawa seseorang, yang bahkan Sherif senior pun dibuat angkat tangan. Bagaimana dia membuat seorang bocah kecil turun dari pohon tanpa harus memanggil petugas pemadam kebakaran lagi. Bagaimana dia mengusir seorang guru super-killer yang kerap menebar terror mencekam di sekolahnya (nah, siapa tahu idenya bisa dipake buat ngusir guru killer di sekolahmu juga. Ahaha!). Termasuk, bagaimana dia--lagi-lagi--diperdayai oleh cinta yang membuatnya murka bukan kepalang.

Belum lagi karakter si Jeki, Inong dan Ucup yang nggak kalah bedebahnya. Kedewasaan dan semua tingkah mereka bisa dipastikan bakal bikin kamu terenyuh, sekaligus nyengir-nyengir nggak jelas dalam waktu yang bersamaan.

Yang mengerjakan novel ini bukan gue, tapi hati gue. Setiap bab-nya sudah benar-benar diukir sedemikian rupa supaya nggak membosankan dibaca. Apalagi buat yang suka Cermis gue, kalian boleh membuktikan daya khayal dan imajainasi gue dari sisi yang jelas berbeda, tapi tetap total. Mehehe... *nyengir mulu dari tadi*

Cukup sekian, ya, bedah buku Udin-nya. Menurut penerbitnya, The Fabulous Udin udah bisa diburu di toko-toko buku mulai tanggal 20 februari 2013. Harganya 59k. 

Buat order online, bisa langsung kesini.

Sekali lagi, tidak ada yang lebih baik dari jajan buku. Kalau kamu takut menghabiskan uang jajanmu untuk membeli buku, berarti kamu takut membaca.

Buku adalah jendela dunia. Jika kamu enggan membaca, berarti kamu menutup dunia.

Thankiss, ya, udah mampir ke warung kopi gue yang busuk ini. Buat yang mau komentar, silakan di box comment. Kalau mau komentar di twitter, boleh. Jangan lupa hesteknya: #TheFabulousUdin.

Wassalamualaikum. *kecup melengkung*






Thursday, January 31, 2013

Nightmare 3: The Last Island.




Halu, LOLs. Akhirnya kesampaian juga, nih, bikin trilogi Nightmare. Gue harap semua yang nyimak sekuel cermis ini udah pada baca dua episode sebelumnya, ya, biar kerasa suasana premisnya. Nightmare pertama ada di buku pertama gue (buku Wow Konyol!), Nightmare 2 ada di halaman sebelah blog ini. Nightmare 3, alias yang terakhir, bakal kalian simak di sini, sesaat lagi. Tetaplah bersama kami.

*iklan lewat*

Alkisah ...

Seorang perempuan bule asal Paman Sam mengunjungi sebuah pulau di ujung utara Nusa Tenggara Barat. Namanya pulau Lonjong (bukan nama sebenarnya). Pulau yang lumayan terasing ini jaraknya sangat jauh dari daratan Lombok. Untuk sampai ke sana, dibutuhkan perjalanan 6 jam dengan menggunakan speedboat. Wih, jauh banget, ya? Kalau pake sampan mungkin bakal memakan waktu sewindu.

Perempuan single atletis ini berparas sangat cantik. Mirip-mirip Kirsten Dunst gitu, LOLs. Namanya Joanna, umurnya sekitar 28-an. Dengan mengenakan kacamata hitam besar, dia tampak bak aktris hollywood. Sangat elegan dan ... Berintelejensi tinggi. #clue

Joan datang sendirian ke pulau ini. Tidak ditemani siapapun. Maklum, dia tidak suka keramaian. Menyendiri di tempat sepi adalah kegemarannya. Bersenggama dengan alam adalah kebiasaannya. Dan, menggauli perairan hijau toska adalah kegilaannya. Itulah Joanna. Perempuan misterius yang kelihatannya selalu tahu persis apa yang diinginkannya dalam hidup.

Pulau Lonjong adalah satu dari sedikit pulau berpenghuni yang berjejer di perairan Bali. Keindahannya sulit diungkapkan lewat kata-kata. Surga tersembunyi ini malah lebih dikenal turis-turis asing ketimbang turis ibu kota. Maklum, jaraknya yang terlalu terpencil agak meminimalisir hasrat untuk bertandang ke sana. Padahal, siapapun yang mengenal Maladewa, pulau Lonjong inilah Maladewa-nya Indonesia. *duh, jadi ngebet pengen ke Maldives. Kapan, ya, ada sponsor yang khilaf nawarin gue berangkat* *ditimpuk gadis*

Lokasi: Resort Mandala, jam 4.50 pm.

Setelah merapikan barang bawaannya di salah satu room cukup mewah yang menghadap ke pantai, Joan bergegas berjalan menuju pantai. Dia mengenakan pakaian minim (bukan bikini). Selain itu, Joan juga tampak menyelempangkan tas kecil yang entah apa isinya. Suasana pantai agak sepi. Maklum, bukan musim liburan. Dalam radius ratusan meter, terlihat beberapa orang bule masih menjemur gunung kembarnya hingga tanning total. Setelah dijemur, tinggal disetrika kali, ya, biar licin.

Nyol!

"Halo, Miss Joan. Perahunya sudah siap. Anda mau berkeliling sekarang?" sapa seorang warga lokal dalam bahasa Inggris yang fasih. Namanya Gandi. Dia terbiasa menyewakan speedboat kecil pada turis-turis di sana.

"Oh, halo. Mr. Gandi. Yap. Saya akan berkeliling sekarang," jawabnya, tentu saja dalam bahasa Inggris juga. Sengaja gue translate ke bahasa Indonesia biar pada ngerti. *padahal guenya yang nggak bisa bahasa Inggris*

"Baiklah, Miss. Tapi Anda harus ingat aturannya, ya. Anda hanya boleh diperkenankan mengelilingi pulau ini saja. Tidak boleh jauh-jauh. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk," kata Gandi.

"Hal buruk? Apakah pernah terjadi hal buruk di sini?"

"Ummh ... Yeah. Tapi kejadiannya sudah lama. Tidak ada yang perlu Anda takutkan."

"Ou, really? Please, tell me. Pernah ada kejadian apa di sini?" desak Joan penasaran. Dia membuka kacamata hitamnya.

"Baiklah, Miss. Jadi begini. 10 mil ke arah timur pulau ini adalah perairan hiu. Di sana banyak terdapat hiu-hiu dari berbagai spesies yang berbahaya. 2 tahun lalu pernah ada 5 orang turis asing dan 1 guide-nya menghilang di sana. Kemungkinan mereka menjadi korban keganasan hiu-hiu itu."

"Oh My God! Lalu, bagaimana kalian bisa tahu mereka menghilang karena diterkam hiu?" Joan meraba pundaknya yang merinding.

"Yap. Tentu saja dari boat yang ditemukan sudah tak berpenumpang. Diperkirakan mereka nekad turun dari boat untuk berenang. Bahkan, di dinding boat-nya pun ditemukan jejak terkaman dari gigi hiu," terang Gandi blak-blakan.

"Ouuh ... Itu mengerikan sekali," Ujar Joan sembari kembali mengenakan kacamatanya, siap untuk berburu sunset.

Lalu, benarkah mereka diserang hiu?


1 jam kemudian.

Joan masih memacu pelan-pelan boat-nya sembari tak henti-hentinya memanjakan matanya dengan panorama yang keji indahnya. Sunset di cakrawala barat tampak mengguyurkan jingganya menyapu samudera. Keindahan inilah yang membuat Joan terbuai, dan tidak sadar sudah meninggalkan pulau Lonjong terlalu jauh.

Setelah mulai gelap, barulah Joan sadar, ternyata Pulau Lonjong sudah tak tampak. Namun Joan tidak terlalu kaget. Kalau dia tidak bisa kembali ke sana karena kejauhan, dia bisa menepi di pulau kecil yang tak jauh dari situ untuk bermalam di sana. Betul. Rupanya Joan sudah mengantisipasi kemungkinan ini. Pulau yang tampak di depan matanya tak kalah indah. Ukurannya jauh lebih kecil, namun berpenghuni. Dari dekat, dia bisa melihat sebuah resort kecil tampak indah, berdiri megah di bibir pantai.

Joan pun menepikan boat-nya. Namun alangkah terkejutnya Joan saat pundaknya ditepuk seseorang dari belakang.

"Selamat datang di pulau kami yang indah ini, Miss."

"Ouh, Jesus Christ!! Oh, i'm sorry. Anda mengagetkan saya!" Pekik Joan.

"Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud menakuti Anda," ujarnya merasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Kalau boleh tahu, ini pulau apa, Sir?"

"Oh ya. Perkenalkan, nama saya Hassib, dan pulau ini dinamakan sebagai The Last Island, alias Pulau Terakhir," jawabnya mantap.

"The Last Island? Kenapa dinamakan begitu?"

"Karena ini memang pulau terakhir yang ada di sini. Jika Nona melanjutkan perjalanan ke arah timur, Nona tidak akan menemukan pulau lagi. Di sana hanya ada perairan hiu dan pulau Papua, nun jauh di sana," terang Hassib dengan cakap.


2 jam kemudian ...

Setelah makan malam dan membaringkan tubuhnya di kamar hotel sebentar, Joan kembali beranjak keluar. Inilah saat yang paling menyenangkan buat Joan. Semilir angin malam dari pantai adalah sahabatnya. Dia akan menghabiskan waktu berjam-jam di sana untuk menikmati suasana, seperti yang biasa ia lakukan di pantai manapun yang ia kunjungi.

Di bibir pantai, Joan membaringkan tubuhnya lagi dengan berbalut jaket tipis. Suasana sekitar agak gelap. Joan hanya bisa mendengar deburan ombak kecil, dan melihat liukan daun kelapa yang tengah disetubuhi angin (ampun lah ini bahasanya).

Lalu ...

Dari kejauhan, Joan tampak melihat seorang bule pria tengah duduk termenung. Dia hanya mengenakan celana renang Speedo, bertelanjang dada, dengan tubuh tegap dan kekar. Tatapannya menghujam kosong, namun gemetar menggigil. Dia seperti tengah menahan nyeri yang hebat, namun disembunyikan. Parasnya juga terlihat pucat.

Joan memicingkan matanya, dan terus saja memperhatikan bule itu. Gelagatnya yang aneh tentu saja membuatnya bertanya-tanya, apa gerangan yang sedang dirasakan dan dipikirkannya? Joan tentu saja tipikal orang yang mengandalkan logika. Tak sedikit pun terbersit di pikirannya akan hal-hal aneh, seperti yang sedang kalian pikirkan sekarang.

Dengan ragu-ragu, Joan pun berdiri, dan menghampiri bule tampan itu. Joan yakin, dia pasti membutuhkan bantuan.

Namun, belum sempat ia menyapa sang bule, Joan terperangah luar biasa. Tiba-tiba saja bule itu memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Warnanya merah kecoklatan, kental, dan berbau busuk. Dia terus saja muntah. Muntah lagi, dan terus muntah.

"Oh my God!!! Hey, are you okeee?!!!" pekik Joan spontan. 

Namun teriakannya tidak digubris sama sekali. Bule itu malah berdiri, lalu berjalan mendekati pantai. Wajahnya semakin pucat, tatapannya semakin kosong, dan rautnya semakin dingin.

"Hey!! Anda sedang sakit!! Jangan ke sana!!" teriak Joan lagi.

Masih tak digubris. Sang bule terus saja berjalan menjauhinya, mengarah ke laut. Joan mengikutinya hingga tepi air, sementara orang yang dipedulikannya semakin hilang di balik kegelapan. Sesaat kemudian, manusia misterius itu pun menenggelamkan diri di kedalaman, dan tak pernah muncul lagi.

Sesaat tubuh Joan membeku bak es, sampai akhirnya dia nekad menyusul bule itu untuk menyelamatkannya. Dengan tangkas, dia menyelam kesana-kemari untuk menemukan tubuh sang bule. Namun apa hasilnya? Tentu saja sia-sia. Joan sama sekali tak menemukan apa yang dicarinya. Sang bule itu hilang ditelan ombak.

Joan pun panik seketika. Dalam keadaan basah kuyup, dia berlari ke arah resort untuk mencari bantuan. 

Di lobby resort, Joan berhenti dan memutar pandangannya ke setiap penjuru untuk mencari orang. Hingga akhirnya dia menemukan Hassib tengah berdiri di belakang meja resepsionis.

"Oh, thank God! Hey, Hassib. Ada yang tenggelam di pantai! Kau harus membantunya!!" teriak Joan, tentu saja selalu menggunakan bahasa Inggris, karena ia hanya sedikit menguasai bahasa Indonesia. Banyak mengerti ucapan yang didengar, namun kesulitan mengucapkannya sendiri.

Setali tiga uang dengan sikap bule itu, Hassib sama sekali tidak menggubris teriakan Joan. Posisi tubuh Hassib membelakanginya. Entah apa yang dilakukan karyawan resort itu, dari belakang ia tampak seperti sedang menggaruk-garuk wajahnya dengan membabi buta.

"HASSIB!! HEYY!! LISTEN TO ME!!" bentak Joan sembari menarik lengan baju Hassib hingga memutar menghadapnya.

Pemandangan mengerikan pun langsung membuat jantung wanita cantik itu runtuh. Rupanya Hassib tengah mencabik-cabik wajahnya dengan pecahan gelas kaca. Separuh wajahnya habis, hingga tengkorak giginya tampak menyembul seperti tengah menyeringai bak hendak menerkam Joan hidup-hidup.

Joan terbangun dari tidurnya. Keringat dingin tampak membasahi keningnya. Nafasnya menderu hebat. Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata?! Mimpi macam ini?! Bagaimana mungkin Joan mendapat mimpi buruk di tempat seindah ini? Pertanda apa ini?!

Tubuh Joan masih gemetar. Namun ia tidak merasa takut sama sekali. Hanya sedikit shock. Ia hanya butuh air mineral untuk menstabilkan gemetar di tubuhnya. 

Saat tegukan terakhir masuk ke mulutnya, gelas yang dipegang Joan pun terlempar.  Dia kaget luar biasa. Seseorang yang berpakaian mirip teroris; muka ditutup kain hitam; mendobrak pintu kamar Joan dan menyeretnya hingga ruangan resepsionis.

Rupanya di sana sudah berkumpul beberapa orang turis asing juga seperti Joan. Sebagian pria, dan sebagian lainnya wanita. Kaki dan tangan mereka terikat kuat. Beberapa diantaranya tampak menangis histeris, beberapa lainnya berusaha menenangkan yang lain. 

Bagaimana tidak, beberapa detik lalu mereka harus menyaksikan pembunuhan sadis di depan mata mereka. Hassib, seorang resepsionis yang berusaha melindungi tamu-tamunya, menjadi korban pertama dari kekejaman para penjahat itu. Wajah kirinya hancur tertembus timah panas dari laras panjang. Luka itu mirip dengan bekas cabikan yang Joan lihat di mimpinya barusan. Jadi inikah makna dibalik mimpi itu?

Sementara "tamu-tamu tak diundang" yang berjumlah 4 orang itu dengan beringas membentak semua tamu dan sesekali menghajar mereka dengan keji. Tanpa belas kasihan, tanpa rasa kemanusiaan. Sangat menyedihkan. Liburan yang seharusnya menjadi hal menyenangkan, harus berubah menjadi petaka.

"Kau jangan takut. Ini hanya penyanderaan biasa. Mereka hanya menginginkan barang-barang kita. Tidak apa-apa. Semua bakal baik-baik saja," bisik seorang bule bermata biru pada teman wanitanya yang tengah menangis ketakutan.

Joan, yang juga berada di samping mereka, mendengar bisikan itu. Sungguh, ucapan pria itu mampu membunuh kepanikannya juga. Memang betul. Ketika kamu berada dalam posisi bahaya atau mengerikan, hanya ada dua tindakan bijak yang bisa ditunjukkan: mengatakan, "Semua akan baik-baik saja," atau "Aku juga takut, sama sepertimu." 

Ingatlah, dalam kondisi apapun, membuat orang lain merasa tidak sendiri akan membuatmu merasa tidak sendiri. Saat kamu memberi, sesuatu akan kembali. Semangat inilah yang bakal membuat kamu stay strong.

Masih dalam keadaan tangan terikat ke depan, Joan melirik ke arah seorang Ibu muda yang ada di samping kanannya. Dia juga sedang gemetar ketakutan, sama seperti Joan. Rasa iba pun melintas di benaknya.

"Cincin Anda bagus. Itu cincin platinum khas ukiran France. Apa Anda mendapatkannya di sana?" tanya Joan, berusaha menenangkan suasana. 

"Oh ... Yah. Ini cincin pemberian suamiku. Dia memang memesannya di France. Lihat, ada ukiran nama suamiku di sisi luarnya," jawab Ibu itu di tengah isakannya. Dia menunjukkan ukiran yang membentuk kata 'MALFOY' di cincin itu dengan rasa bangga.

"Malfoy. Nama yang bagus. Dimana suami anda sekarang?"

"Dia meninggal karena kecelakaan tahun lalu, tepat di ulang tahun pernikahan kami yang ketiga," bisik ibu itu dengan lirih. Matanya tampak berkaca-kaca, namun senyuman ikhlas tersungging di bibirnya yang kering.

"Oh ... I'm so sorry ..."

"Tidak apa-apa. Kalau kejadian di malam ini akan membawa saya menemui suamiku, aku rela. Anda tahu? Saya sangat merindukannya," jawabnya. Beberapa tetes air mata tumpah membelah pipinya.

"Anda jangan bicara seperti itu. Ini hanya penyanderaan biasa. Mereka hanya menginginkan barang-barang kita. Percayalah, semua akan baik-baik saja," ujar Joan menirukan ucapan pria yang ada di sampingnya. Tangannya yang terikat menjulur meraih tangan sang ibu muda. Jemari mereka bertemu dan saling meremas untuk saling menguatkan.

"Kau sudah kumpulkan barang-barang mereka?!" tanya salah satu dari kawanan perampok itu dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dibalas anggukan oleh partner in crime-nya.

"Oke! Sekarang ambil semua barang yang menempel di tubuh mereka!!" perintahnya lagi.

Dengan pasrah, para sandera pun membiarkan bajingan-bajingan itu menyambar apapun yang dipakai mereka. Kalung, jam tangan, anting-anting, termasuk cincin platinum itu pun tak luput dari incaran mereka. Bahkan tanpa malu-malu, salah satu kawanan perampok itu mengenakan cincin tersebut di depan pemiliknya.

"Sudah selesai! Tembak mereka sekarang, jangan sisakan satu orang pun!!" perintah sang pemimpin kawanan perampok lagi.

Teriakannya sontak membuat sebagian sandera yang mengerti tercengang bukan kepalang. Sebagian lainnya yang tidak paham terlihat gelagapan dan bertanya ke sesamanya dengan raut panik, "What? What will happen next?! Hey!" 

Joan, salah satu yang paham dengan perintah itu, tampak menahan nafas dengan debaran jantung yang masif. Lagipula, bagaimana mungkin mereka bertindak sekeji itu? Jika hanya bermotif perampokan, mereka tidak perlu menghabisi sandera. Apalagi wajah mereka ditutupi kain. Bukan suatu ancaman, kan, jika mereka membiarkan para sandera itu hidup? Ini benar-benar gila! Bahkan mereka tidak mengharap tebusan sama sekali. Ada apa ini?!

Belum selesai keterkejutan itu menyengat bak aliran listrik, timah panas berukuran besar dari senapan laras panjang pun meletup satu-persatu. Diiringi jeritan ketakutan yang membahana, pelurunya melesat menembus jantung para sandera. Darah pun seketika membuncah menggenangi lantai. 

BANGG!! 

Peluru kesekian kalinya masih dimuntahkan dari senjata mematikan itu. Kali ini sang timah panas bersarang di dada kiri ibu muda pemilik cincin. Joan tidak melepaskan cengkeraman tangannya. Dia membiarkan ibu mudah itu menyungkurkan tubuhnya di pelukannya. Sepertinya Tuhan mengabulkan harapan terakhir sang ibu muda itu.

Sesaat kemudian, Joan pun menutup kedua matanya, namun tidak menunduk. Hatinya seakan tengah berbicara pada Tuhan, pertanda ia siap menghadapNya.

BANGG!! 

Timah panas terakhir pun terbenam di perut Joan. Darah yang mengucur dari tubuhnya mengiringi maut yang hendak menjemputnya. Kepala Joan membentur lantai. Tersungkur dalam posisi tengkurap. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Sementara tak jauh dari tempatnya, tampak seorang turis pria tengah meregang nyawa. Pria itu tak henti-hentinya memuntahkan darah dari mulutnya. Joan tahu, dialah bule pria yang dilihatnya dalam mimpi. Betul. Makna dari mimpi buruknya sudah terkuak sekarang. Mata Joan masih terbuka. Dari kejauhan, dia masih bisa menatap dedaunan kelapa yang meliuk disapu angin. Telinganya pun untuk terakhir kalinya masih bisa mendengar deburan ombak. Sangat damai, meski tragis.

"Kubur mayat-mayat ini sekarang! Ingat, jangan sampai meninggalkan jejak!!" perintah sang pemimpin lagi.

Tapi Joan belum mati. Dia hanya pura-pura mati meski harus merasakan nyeri hebat menghantam perutnya. Bibirnya sedikit tersenyum. Tuhan belum mengizinkannya mati. Meski keadaannya sangat menyiksa, ia yakin rasa sakit itu tidak akan membunuhnya. Senyuman di bibir Joan semakin tersungging. Dia harus bertahan. Itulah yang terlintas di pikirannya. 

Sementara suasana di ruangan hening. Joan tak mendengar suara apapun lagi. Tidak ingin membuang kesempatan, perempuan malang itu pun segera menggerakan tubuhnya. Darah yang tak henti-hentinya mengucur di perutnya sama sekali tak dipedulikannya. Yang ia pedulikan cuma satu, melarikan diri untuk mencari bantuan sesegera mungkin.

"ADA YANG MASIH HIDUP!! TEMBAK DIA!!" jerit seseorang.

Joan tersentak! Secepat kilat ia memutar kepalanya ke arah suara. Namun, secepat itu pula ujung senapan yang dicengkeram kuat itu membidik dahinya dari jarak 1cm.

BANGG!! Satu peluru lagi dari laras panjang pun melesat menembus kepala Joan.

Seperti Nightmare di episode-episode sebelumnya, LOLs. Joan melompat dari tempat tidurnya. Mimpi panjang, mimpi di dalam mimpi, mimpi bertingkat, mimpi yang merupakan vision (baca: penglihatan) itu tak pernah gagal mengejutkan para messenger-nya. Tak terkecuali Joan. Mungkin inilah mimpi paling buruk yang pernah ia jumpai dalam tidurnya. Mimpi yang memiliki pesan kuat, firasat yang hebat, dan petunjuk yang tak boleh diabaikan.

Keringat dingin mengucur semakin deras di sekujur tubuhnya. Nafasnya semakin menderu hebat. Apa yang menimpa Joan kali ini sukses membunuh logikanya, seakan ia menemukan keajaiban sekaligus kutukan dalam mimpi buruknya barusan.

Bagaimana tidak, ruangan tempat ia terjaga ini sudah tak secantik seperti saat ia memejamkan mata beberapa jam lalu. Kini, ia hanya melihat sarang laba-laba menghiasi langit-langit kamar. Debu-debu setebal karpet menyelimuti seluruh permukaan lantai. Bahkan seluruh ruangan di resort itu kini hanya tampak bak rumah hantu. Gelap, kotor, berantakan dan bau busuk khas menyengat dari seluruh penjuru. Entah bau darimana.

Setelah menenangkan hati dan pikiran yang bergejolak sedari tadi, Joan pun segera bergegas meninggalkan Pulau Terakhir. Ketakutan dan kepanikan masih menyerangnya bertubi-tubi hingga kini.

Sebelum memacu gas speedboat-nya, tatapan mata Joan menyorot ke arah resort untuk yang terakhir kalinya. Pemandangan dramatis pun tampak. Ternyata Pulau Terakhir itu adalah pulau mati. Tak ada kehidupan manusia di sana. Akal sehatnya bahkan belum mampu mempercayai semua peristiwa-peristiwa ganjil yang menimpanya sejak tadi sore. 

Ini aneh, tapi terjadi. Bagaimana mungkin indera penglihatannya bisa tertipu oleh panorama yang tampak tidak seperti kelihatannya? Bagaimana mungkin dia berbicara dengan seseorang di sana dan bahkan sempat makan malam yang membuat perutnya kekenyangan hingga sekarang? Makanan apa yang disantapnya? Tak ada ilmu yang sanggup mengungkap fenomena seperti ini. Lagi-lagi pundak Joan dibuat merinding hebat membayangkannya.


Lokasi: Pulau Lonjong, 2 jam kemudian.

"Nona Joannaaa!!! Ya Tuhan, Anda kemana saja?! Saya sangat cemas menunggu Anda sejak tadi!" pekik Gandi begitu melihat Joan merapatkan speedboat-nya.

"Mr. Gandi, saya mohon maaf! Tapi, saya terpaksa terlambat mengembalikan boat Anda." Joan menghampiri Gandi sembari menyeka keringat dingin di lehernya.

"Tidak apa-apa, Nona. Tapi Anda membuat semua orang cemas di sini. Saya sudah menyiapkan tim untuk mencari Anda jika dalam satu jam Anda tidak kembali."

"Sekali lagi maafkan saya. Tapi saya harus mengungkap kasus menghilangnya 5 orang turis itu, Pak," ujar Joan dengan nafas terengah.

"Ha?! Maksud Anda apa? Kasus itu sudah ditutup. Bagaimana cara Anda mengungkapnya? Bahkan polisi pun tidak pernah bisa menemukan jawabannya."

"Saya sudah menemukan jawabannya, Pak. Saya akan mengungkapnya. Tapi saya tidak bisa melakukannya tanpa bantuan Bapak."

"Baiklah kalau begitu. Apa yang bisa saya bantu?" jawab Gandi dengan polos, namun semangat.

"Mr. Gandi, sebenarnya saya adalah agen CIA yang sengaja datang ke sini untuk menyelidiki kembali kasus turis-turis yang menghilang itu," terang Joan.

"Oh, ya Tuhan. Sudah saya duga, Anda memang tidak terlihat seperti turis kebanyakan. Jadi Nona Joanna ditugaskan oleh pimpinan Anda untuk menyelidiki kasus itu?"

"Sebenarnya tidak, Pak. Saya datang ke sini secara pribadi. Entah kenapa, saya selalu merasakan kejanggalan dari awal. Hati kecil saya berkata, turis-turis asal Amerika itu tidak mungkin menghilang karena serangan hiu."

"Lalu, bagaimana cara kita menemukannya, Nona? Dengan senang hati saya akan membantu."

"Kita tidak perlu mencarinya lagi. Saya tahu mereka tidak pernah kemana-mana." Joan menarik nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan, "Mereka dikubur di Pulau Terakhir," Tutupnya.

Gandi tersentak. "Astagaa ... Anda yakin? Darimana anda tahu, Nona?" 

"Oh ... Umm ... Mungkin ini kedengaran tidak masuk akal. Tapi ... Saat saya sengaja berkunjung ke pulau itu untuk kepentingan penyelidikan, saya mendapat vision. Saya mengalami mimpi buruk yang mengungkapkan kejadian yang sebenarnya." terang Joan panjang lebar. 

Sebelum membuat Gandi semakin keheranan, Joan tidak berhenti membeberkan semuanya. Dari mulai ia bertemu dengan Hassib; yang dilaporkan sebagai guide yang menghilang bersama kelima turis itu; check in di salah satu kamar resort, hingga seluruh peristiwa maut yang ia lihat dalam mimpi panjangnya. Bagaimana para perampok itu menghabisi nyawa Hassib dan kelima tamu yang sedang menginap di sana.

"Ini benar-benar aneh, Nona. Tapi bagaimana pun, Nona tidak mungkin mengada-ada karena Nona mengenal Hassib. Anda bertemu dengan Hassib, Nona! Dia adalah sahabat saya dari kecil. Sejak mendengar kabar duka tentang Hassib, saya sangat terpukul. Jika Nona benar-benar bisa mengungkap kasus ini, saya tidak akan melupakan jasa Anda," pekik Gandi dengan mata berkaca. Giginya gemeretak menahan amarah dan dendam.

"Saya janji, saya akan membuktikannya. Tapi Anda harus membantu saya," jawab Joan sembari menepuk bahu Gandi.

"Apa yang bisa saya lakukan, Nona?" 

"Saya belum begitu yakin dimana titik paling tepat tempat penguburan jasad-jasad pelancong itu. Maka dari itu, besok Anda dan saya harus kembali ke sana untuk mencarinya. Ini tidak akan memakan waktu lama. Jika memang benar pernah ada penguburan masal di sana, saya pasti bisa menemukan jejaknya. Setelah itu, baru kita bisa melibatkan kepolisian untuk menindaklanjuti kasus ini," kata Joan.

"Baiklah, Nona. Kalau begitu, mari saya antar Nona ke kamar. Nona harus banyak istirahat supaya besok kembali fit," ujar Gandi masih semangat. Dia menjulurkan tangan kirinya ke arah Joan untuk mempersilahkannya jalan di depan. 

Nah, di sinilah keterkejutan Joan menemui puncaknya. Kepalanya terasa seperti diledakkan oleh senjata laras panjang tatkala ...

JOAN MENATAP CINCIN BERUKIR NAMA MALFOY ... MENYEMAT DI JARI MANIS GANDI!

Sedemikian hebatnya keterkejutan itu, hingga nyaris membuat Joan tersungkur jatuh. Nafasnya tercekat. Seluruh tubuhnya mendadak kaku seakan terimpit beton besar. Matanya menatap tajam ke arah Gandi. Kepalanya sedikit menggeleng seolah tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sosok yang begitu ia percaya ternyata ...

"Anda kenapa, Nona? Anda baik-baik saja?" tanya Gandi dengan penuh keheranan.

"Oh ... Umm, yak! Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing. Sebentar ya, saya harus mengambil tas yang ketinggalan di boat Anda," tepis Joan dengan perasaan berdebar tak karuan. Jujur, meski ia agen CIA sekalipun, situasi seperti ini baru kali ini ia jumpai seumur hidupnya. Bagaimana mungkin ia begitu bodoh membeberkan semua hasil penyelidikannya pada sang psychopat? Pelaku yang seharusnya ia ringkus.

Joan harus memiliki taktik untuk menghadapi Gandi. Setidaknya untuk langkah awal, ia tak akan menunjukkan sikap yang mungkin membahayakannya. Seorang bajingan saja mampu bersandiwara seakan-akan berduka karena kehilangan sahabat yang dibunuhnya, maka ia tak boleh kalah taktikal.

Setelah mengambil tasnya dari dalam boat, Joan kembali berdiri untuk menghampiri Gandi. Tapi tiba-tiba saja ...

BHUKK!!!

Sebuah dayung besar menghantam keras wajah Joan hingga membuatnya tersungkur jatuh. Seketika kepalanya terasa berkunang-kunang. Di dalam boat itu, darah segar mengucur di atas pelipis matanya. 

"Jadi, Anda melihat cincin ini juga di mimpi konyol Anda itu?!!" sungut Gandi sembari menunjukkan cincin platinum itu. Suaranya terdengar begitu dingin. Dia masih mencengkeram dayung itu di tangan kanannya.

"Saya tidak mengerti maksud Anda," jawab Joan sembari berusaha menghentikan pendarahan di pelipisnya.

"Saya yang tidak mengerti dengan Anda. Bagaimana mungkin agen rahasia sekelas CIA hanya mengandalkan mimpi untuk mengungkap kasus? Apa itu yang biasa dlakukan di negara Anda? Warga Anda di sana sudah banyak. Bahkan mayat-mayat dibiarkan tergeletak di pinggiran jalan dan rel kereta. Untuk apa Anda membuang-buang waktu datang ke sini hanya untuk mencari tengkorak? Menyedihkan!" umpat Gandi. Nadanya semakin naik.

"Kita bisa membicarakan ini. Saya tahu Anda tidak melakukan pembunuhan itu. Anda hanya diperalat. Saya janji, saya akan membebaskan Anda dari kasus ini." Joan berusaha mengendalikan situasi.

"Hahahahahaha ... Anda pikir saya bodoh? Saya tahu apa yang saya butuhkan, bukan kebebasan seperti yang Anda janjikan. Omong kosong! Asal Anda tahu, saya yang menggali kuburan untuk turis-turis bodoh itu. Dan apa yang membuat Anda berpikir saya akan membiarkan Anda hidup, sementara sahabat saya sendiri berani saya habisi? Anda siapa? Berlagak sok heroik, lalu datang ke sini untuk mengacaukan semuanya. Turis-turis itu mati karena orang-orang seperti Anda!"

"Apa maksud Anda?!"

"Semua karena investor asing dari negara Anda yang sudah menghancurkan bisnis pariwisata kami di pulau ini! Pulau Terakhir itu awalnya tidak berpenghuni. Sampai orang-orang berduit dari negara Anda datang ke sini, dan membangun fasilitas lengkap di pulau itu. Lalu apa imbasnya buat kami?! Pulau ini menjadi sepi pengunjung. Semua turis yang biasa datang kemari lebih memilih mengunjungi Pulau Terakhir. Bisnis perhotelan warga lokal di sini dibuat sekarat karena perbuatan mereka!!"

"Jadi itulah kenapa kalian merencanakan pembantaian itu? Untuk menutup kembali Pulau Terakhir itu?" cecar Joan. Semuanya masuk akal sekarang. Pantas para perampok itu menghabisi semua sandera. Ternyata ada motif yang jauh lebih penting dari sekedar merampas benda-benda milik mereka. Benda-benda hasil rampasan itu hanyalah bonus.

"Saya tidak pernah meragukan kecerdasan Anda."

"Tapi kenapa harus mengorbankan mereka? Mereka tidak bersalah." tanya Joan. Posisinya semakin tersudut, baik secara fisik maupun mental.

"Hah! Hidup memang tidak adil ya? Terkadang Anda harus menginjak tubuh yang tidak berdaya agar terlihat tinggi. Mereka memang tidak memiliki masalah apa-apa dengan kami. Tapi mereka adalah properti paling sempurna untuk memuluskan rencana kami. Mereka hanya sedang sial harus berada di waktu dan tempat yang salah!"

"Bagaimana dengan Hassib? Kenapa anda menghabisi sahabat sendiri? Apakah dia juga properti?" cecar Joan lagi. Dia masih harus mengulur waktu.

"Dia pengkhianat. Cuma dia satu-satunya orang yang bersedia bekerja di pulau itu. Disaat sodara-sodaranya sendiri di sini nyaris mati kelaparan, dia bersenang-senang di sana dengan menjadi budak Amerika!"

"Lalu, bagaimana dengan ..."

"Sudah cukup!! Anda sudah cukup mengulur waktu saya! Anda tahu saya harus segera menyelesaikan ini. Semua yang ada dalam posisi saya, harus melakukan hal yang sama, bukan? Tidak ada yang rela membiarkan masa depan keluarganya dihancurkan, hanya karena sebuah penglihatan yang konyol!" tutup Gandi sembari menghampiri Joan. Dia mulai mengangkat dayung itu tinggi-tinggi, dan mulai mengayunkannya ke arah Joan.

Joan tak tinggal diam. Setelah sedari tadi menyembunyikan tangan kirinya bersama tasnya, akhirnya ia berhasil membuka tas itu diam-diam untuk mengambil sesuatu. 

Sepersekian detik kemudian, sebelum dayung itu menghantam tubuh Joan, tangan kirinya bergerak lebih cepat untuk mengacungkan sepucuk pistol ke arah Gandi.

BANG! BANG!! BANG!!

Revolver bergagang cokelat itu memuntahkan tiga buah timah panas hingga bersarang di jantung Gandi. Seketika itu juga dia jatuh terjungkal, lalu mengambang di tepi dermaga kecil. 

Joan menghela nafas panjang. Matanya menatap nanar ke arah jenazah yang berdarah. Entah kenapa, ada perasaan aneh berkecamuk di dadanya kini, terutama mengenai motif pembantaian itu. Masalah investor-investor asing yang kerap menyudutkan warga lokal memang sudah menjadi persoalan klasik. Bukan hanya di Indonesia, bahkan di negara-negara maju pun masih tak kalah sengitnya.

Contoh yang paling kuno adalah warga suku Aborigin yang kalian tahu bagaimana nasibnya. Warga Indian yang semakin terpinggirkan. Warga Melayu asli di Singapore yang ter-marginal-kan. Lalu, jarang sekali kita bisa menemukan orang Bali asli bisa menempati jabatan penting di bisnis perhotelannya. Bahkan, orang-orang betawi asli yang banyak menjual tanahnya ke para investor itu, tahu sendiri, kan, bagaimana imbasnya sekarang? Jadi wajar kalau sampai menimbulkan kecemburuan sosial yang sporadis dalam kasus tertentu. 

Masalah penanam modal memang bak pedang bermata dua. Kemajuan suatu daerah karena jasa para investor terkadang harus dibayar mahal oleh pengikisan eksistensi warga lokalnya. Imbasnya, mereka harus terusir secara moral, finansial dan tentu saja sosial. Ini hanya kasus, ya. Tidak seluruhnya harus berakhir seburuk itu.

Oke, yang ini nggak usah kita bahas, terlalu rumit. Gue aja nggak terlalu paham, kok.

Yang pasti, kasus konspirasi dan pembantaian keji yang menimpa turis-turis itu bisa dituntaskan hanya lewat penglihatan. Setelah diselidiki kembali hingga melibatkan federasi USA terkait, kasus itu pun berhasil diungkap. Otak dari konspirasi itu rupanya pemilik resort Mandala sendiri. Salah seorang warga lokal yang begitu membuta hatinya hanya karena merasa kalah bersaing dalam bisnis. Mendendam, lalu membantai. Bengis, biadab, sekaligus menyedihkan.

Berangkat dari kata hati yang membisikkan kekuatan, Joanna, seorang agen CIA junior ini datang jauh-jauh dari belahan bumi lain hanya untuk menemukan jawaban atas kasus besar yang masih menggantung di udara. Mungkin karena niat tulusnya ini, Tuhan menunjukkan jalan melalui kebesaranNya. 

Sekali lagi. Kebesaran Tuhan itu ada, terpampang nyata, bahkan disaat kamu tersesat di ujung dunia.

*maaf, Syahrini. Gue pinjem stensilannya*


Sekian, ya, cermis dari gue. Mudah-mudahan mengentertain. Buat yang mau komentar, silahkan di box comment. Atau kalau mau komentar di twitter, boleh, jangan lupa hastag-nya #Nightmare3

Sampai ketemu di cermis gue berikutnya ... *cipok merosot*