Thursday, January 31, 2013

Nightmare 3: The Last Island.




Halu, LOLs. Akhirnya kesampaian juga, nih, bikin trilogi Nightmare. Gue harap semua yang nyimak sekuel cermis ini udah pada baca dua episode sebelumnya, ya, biar kerasa suasana premisnya. Nightmare pertama ada di buku pertama gue (buku Wow Konyol!), Nightmare 2 ada di halaman sebelah blog ini. Nightmare 3, alias yang terakhir, bakal kalian simak di sini, sesaat lagi. Tetaplah bersama kami.

*iklan lewat*

Alkisah ...

Seorang perempuan bule asal Paman Sam mengunjungi sebuah pulau di ujung utara Nusa Tenggara Barat. Namanya pulau Lonjong (bukan nama sebenarnya). Pulau yang lumayan terasing ini jaraknya sangat jauh dari daratan Lombok. Untuk sampai ke sana, dibutuhkan perjalanan 6 jam dengan menggunakan speedboat. Wih, jauh banget, ya? Kalau pake sampan mungkin bakal memakan waktu sewindu.

Perempuan single atletis ini berparas sangat cantik. Mirip-mirip Kirsten Dunst gitu, LOLs. Namanya Joanna, umurnya sekitar 28-an. Dengan mengenakan kacamata hitam besar, dia tampak bak aktris hollywood. Sangat elegan dan ... Berintelejensi tinggi. #clue

Joan datang sendirian ke pulau ini. Tidak ditemani siapapun. Maklum, dia tidak suka keramaian. Menyendiri di tempat sepi adalah kegemarannya. Bersenggama dengan alam adalah kebiasaannya. Dan, menggauli perairan hijau toska adalah kegilaannya. Itulah Joanna. Perempuan misterius yang kelihatannya selalu tahu persis apa yang diinginkannya dalam hidup.

Pulau Lonjong adalah satu dari sedikit pulau berpenghuni yang berjejer di perairan Bali. Keindahannya sulit diungkapkan lewat kata-kata. Surga tersembunyi ini malah lebih dikenal turis-turis asing ketimbang turis ibu kota. Maklum, jaraknya yang terlalu terpencil agak meminimalisir hasrat untuk bertandang ke sana. Padahal, siapapun yang mengenal Maladewa, pulau Lonjong inilah Maladewa-nya Indonesia. *duh, jadi ngebet pengen ke Maldives. Kapan, ya, ada sponsor yang khilaf nawarin gue berangkat* *ditimpuk gadis*

Lokasi: Resort Mandala, jam 4.50 pm.

Setelah merapikan barang bawaannya di salah satu room cukup mewah yang menghadap ke pantai, Joan bergegas berjalan menuju pantai. Dia mengenakan pakaian minim (bukan bikini). Selain itu, Joan juga tampak menyelempangkan tas kecil yang entah apa isinya. Suasana pantai agak sepi. Maklum, bukan musim liburan. Dalam radius ratusan meter, terlihat beberapa orang bule masih menjemur gunung kembarnya hingga tanning total. Setelah dijemur, tinggal disetrika kali, ya, biar licin.

Nyol!

"Halo, Miss Joan. Perahunya sudah siap. Anda mau berkeliling sekarang?" sapa seorang warga lokal dalam bahasa Inggris yang fasih. Namanya Gandi. Dia terbiasa menyewakan speedboat kecil pada turis-turis di sana.

"Oh, halo. Mr. Gandi. Yap. Saya akan berkeliling sekarang," jawabnya, tentu saja dalam bahasa Inggris juga. Sengaja gue translate ke bahasa Indonesia biar pada ngerti. *padahal guenya yang nggak bisa bahasa Inggris*

"Baiklah, Miss. Tapi Anda harus ingat aturannya, ya. Anda hanya boleh diperkenankan mengelilingi pulau ini saja. Tidak boleh jauh-jauh. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk," kata Gandi.

"Hal buruk? Apakah pernah terjadi hal buruk di sini?"

"Ummh ... Yeah. Tapi kejadiannya sudah lama. Tidak ada yang perlu Anda takutkan."

"Ou, really? Please, tell me. Pernah ada kejadian apa di sini?" desak Joan penasaran. Dia membuka kacamata hitamnya.

"Baiklah, Miss. Jadi begini. 10 mil ke arah timur pulau ini adalah perairan hiu. Di sana banyak terdapat hiu-hiu dari berbagai spesies yang berbahaya. 2 tahun lalu pernah ada 5 orang turis asing dan 1 guide-nya menghilang di sana. Kemungkinan mereka menjadi korban keganasan hiu-hiu itu."

"Oh My God! Lalu, bagaimana kalian bisa tahu mereka menghilang karena diterkam hiu?" Joan meraba pundaknya yang merinding.

"Yap. Tentu saja dari boat yang ditemukan sudah tak berpenumpang. Diperkirakan mereka nekad turun dari boat untuk berenang. Bahkan, di dinding boat-nya pun ditemukan jejak terkaman dari gigi hiu," terang Gandi blak-blakan.

"Ouuh ... Itu mengerikan sekali," Ujar Joan sembari kembali mengenakan kacamatanya, siap untuk berburu sunset.

Lalu, benarkah mereka diserang hiu?


1 jam kemudian.

Joan masih memacu pelan-pelan boat-nya sembari tak henti-hentinya memanjakan matanya dengan panorama yang keji indahnya. Sunset di cakrawala barat tampak mengguyurkan jingganya menyapu samudera. Keindahan inilah yang membuat Joan terbuai, dan tidak sadar sudah meninggalkan pulau Lonjong terlalu jauh.

Setelah mulai gelap, barulah Joan sadar, ternyata Pulau Lonjong sudah tak tampak. Namun Joan tidak terlalu kaget. Kalau dia tidak bisa kembali ke sana karena kejauhan, dia bisa menepi di pulau kecil yang tak jauh dari situ untuk bermalam di sana. Betul. Rupanya Joan sudah mengantisipasi kemungkinan ini. Pulau yang tampak di depan matanya tak kalah indah. Ukurannya jauh lebih kecil, namun berpenghuni. Dari dekat, dia bisa melihat sebuah resort kecil tampak indah, berdiri megah di bibir pantai.

Joan pun menepikan boat-nya. Namun alangkah terkejutnya Joan saat pundaknya ditepuk seseorang dari belakang.

"Selamat datang di pulau kami yang indah ini, Miss."

"Ouh, Jesus Christ!! Oh, i'm sorry. Anda mengagetkan saya!" Pekik Joan.

"Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud menakuti Anda," ujarnya merasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Kalau boleh tahu, ini pulau apa, Sir?"

"Oh ya. Perkenalkan, nama saya Hassib, dan pulau ini dinamakan sebagai The Last Island, alias Pulau Terakhir," jawabnya mantap.

"The Last Island? Kenapa dinamakan begitu?"

"Karena ini memang pulau terakhir yang ada di sini. Jika Nona melanjutkan perjalanan ke arah timur, Nona tidak akan menemukan pulau lagi. Di sana hanya ada perairan hiu dan pulau Papua, nun jauh di sana," terang Hassib dengan cakap.


2 jam kemudian ...

Setelah makan malam dan membaringkan tubuhnya di kamar hotel sebentar, Joan kembali beranjak keluar. Inilah saat yang paling menyenangkan buat Joan. Semilir angin malam dari pantai adalah sahabatnya. Dia akan menghabiskan waktu berjam-jam di sana untuk menikmati suasana, seperti yang biasa ia lakukan di pantai manapun yang ia kunjungi.

Di bibir pantai, Joan membaringkan tubuhnya lagi dengan berbalut jaket tipis. Suasana sekitar agak gelap. Joan hanya bisa mendengar deburan ombak kecil, dan melihat liukan daun kelapa yang tengah disetubuhi angin (ampun lah ini bahasanya).

Lalu ...

Dari kejauhan, Joan tampak melihat seorang bule pria tengah duduk termenung. Dia hanya mengenakan celana renang Speedo, bertelanjang dada, dengan tubuh tegap dan kekar. Tatapannya menghujam kosong, namun gemetar menggigil. Dia seperti tengah menahan nyeri yang hebat, namun disembunyikan. Parasnya juga terlihat pucat.

Joan memicingkan matanya, dan terus saja memperhatikan bule itu. Gelagatnya yang aneh tentu saja membuatnya bertanya-tanya, apa gerangan yang sedang dirasakan dan dipikirkannya? Joan tentu saja tipikal orang yang mengandalkan logika. Tak sedikit pun terbersit di pikirannya akan hal-hal aneh, seperti yang sedang kalian pikirkan sekarang.

Dengan ragu-ragu, Joan pun berdiri, dan menghampiri bule tampan itu. Joan yakin, dia pasti membutuhkan bantuan.

Namun, belum sempat ia menyapa sang bule, Joan terperangah luar biasa. Tiba-tiba saja bule itu memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Warnanya merah kecoklatan, kental, dan berbau busuk. Dia terus saja muntah. Muntah lagi, dan terus muntah.

"Oh my God!!! Hey, are you okeee?!!!" pekik Joan spontan. 

Namun teriakannya tidak digubris sama sekali. Bule itu malah berdiri, lalu berjalan mendekati pantai. Wajahnya semakin pucat, tatapannya semakin kosong, dan rautnya semakin dingin.

"Hey!! Anda sedang sakit!! Jangan ke sana!!" teriak Joan lagi.

Masih tak digubris. Sang bule terus saja berjalan menjauhinya, mengarah ke laut. Joan mengikutinya hingga tepi air, sementara orang yang dipedulikannya semakin hilang di balik kegelapan. Sesaat kemudian, manusia misterius itu pun menenggelamkan diri di kedalaman, dan tak pernah muncul lagi.

Sesaat tubuh Joan membeku bak es, sampai akhirnya dia nekad menyusul bule itu untuk menyelamatkannya. Dengan tangkas, dia menyelam kesana-kemari untuk menemukan tubuh sang bule. Namun apa hasilnya? Tentu saja sia-sia. Joan sama sekali tak menemukan apa yang dicarinya. Sang bule itu hilang ditelan ombak.

Joan pun panik seketika. Dalam keadaan basah kuyup, dia berlari ke arah resort untuk mencari bantuan. 

Di lobby resort, Joan berhenti dan memutar pandangannya ke setiap penjuru untuk mencari orang. Hingga akhirnya dia menemukan Hassib tengah berdiri di belakang meja resepsionis.

"Oh, thank God! Hey, Hassib. Ada yang tenggelam di pantai! Kau harus membantunya!!" teriak Joan, tentu saja selalu menggunakan bahasa Inggris, karena ia hanya sedikit menguasai bahasa Indonesia. Banyak mengerti ucapan yang didengar, namun kesulitan mengucapkannya sendiri.

Setali tiga uang dengan sikap bule itu, Hassib sama sekali tidak menggubris teriakan Joan. Posisi tubuh Hassib membelakanginya. Entah apa yang dilakukan karyawan resort itu, dari belakang ia tampak seperti sedang menggaruk-garuk wajahnya dengan membabi buta.

"HASSIB!! HEYY!! LISTEN TO ME!!" bentak Joan sembari menarik lengan baju Hassib hingga memutar menghadapnya.

Pemandangan mengerikan pun langsung membuat jantung wanita cantik itu runtuh. Rupanya Hassib tengah mencabik-cabik wajahnya dengan pecahan gelas kaca. Separuh wajahnya habis, hingga tengkorak giginya tampak menyembul seperti tengah menyeringai bak hendak menerkam Joan hidup-hidup.

Joan terbangun dari tidurnya. Keringat dingin tampak membasahi keningnya. Nafasnya menderu hebat. Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata?! Mimpi macam ini?! Bagaimana mungkin Joan mendapat mimpi buruk di tempat seindah ini? Pertanda apa ini?!

Tubuh Joan masih gemetar. Namun ia tidak merasa takut sama sekali. Hanya sedikit shock. Ia hanya butuh air mineral untuk menstabilkan gemetar di tubuhnya. 

Saat tegukan terakhir masuk ke mulutnya, gelas yang dipegang Joan pun terlempar.  Dia kaget luar biasa. Seseorang yang berpakaian mirip teroris; muka ditutup kain hitam; mendobrak pintu kamar Joan dan menyeretnya hingga ruangan resepsionis.

Rupanya di sana sudah berkumpul beberapa orang turis asing juga seperti Joan. Sebagian pria, dan sebagian lainnya wanita. Kaki dan tangan mereka terikat kuat. Beberapa diantaranya tampak menangis histeris, beberapa lainnya berusaha menenangkan yang lain. 

Bagaimana tidak, beberapa detik lalu mereka harus menyaksikan pembunuhan sadis di depan mata mereka. Hassib, seorang resepsionis yang berusaha melindungi tamu-tamunya, menjadi korban pertama dari kekejaman para penjahat itu. Wajah kirinya hancur tertembus timah panas dari laras panjang. Luka itu mirip dengan bekas cabikan yang Joan lihat di mimpinya barusan. Jadi inikah makna dibalik mimpi itu?

Sementara "tamu-tamu tak diundang" yang berjumlah 4 orang itu dengan beringas membentak semua tamu dan sesekali menghajar mereka dengan keji. Tanpa belas kasihan, tanpa rasa kemanusiaan. Sangat menyedihkan. Liburan yang seharusnya menjadi hal menyenangkan, harus berubah menjadi petaka.

"Kau jangan takut. Ini hanya penyanderaan biasa. Mereka hanya menginginkan barang-barang kita. Tidak apa-apa. Semua bakal baik-baik saja," bisik seorang bule bermata biru pada teman wanitanya yang tengah menangis ketakutan.

Joan, yang juga berada di samping mereka, mendengar bisikan itu. Sungguh, ucapan pria itu mampu membunuh kepanikannya juga. Memang betul. Ketika kamu berada dalam posisi bahaya atau mengerikan, hanya ada dua tindakan bijak yang bisa ditunjukkan: mengatakan, "Semua akan baik-baik saja," atau "Aku juga takut, sama sepertimu." 

Ingatlah, dalam kondisi apapun, membuat orang lain merasa tidak sendiri akan membuatmu merasa tidak sendiri. Saat kamu memberi, sesuatu akan kembali. Semangat inilah yang bakal membuat kamu stay strong.

Masih dalam keadaan tangan terikat ke depan, Joan melirik ke arah seorang Ibu muda yang ada di samping kanannya. Dia juga sedang gemetar ketakutan, sama seperti Joan. Rasa iba pun melintas di benaknya.

"Cincin Anda bagus. Itu cincin platinum khas ukiran France. Apa Anda mendapatkannya di sana?" tanya Joan, berusaha menenangkan suasana. 

"Oh ... Yah. Ini cincin pemberian suamiku. Dia memang memesannya di France. Lihat, ada ukiran nama suamiku di sisi luarnya," jawab Ibu itu di tengah isakannya. Dia menunjukkan ukiran yang membentuk kata 'MALFOY' di cincin itu dengan rasa bangga.

"Malfoy. Nama yang bagus. Dimana suami anda sekarang?"

"Dia meninggal karena kecelakaan tahun lalu, tepat di ulang tahun pernikahan kami yang ketiga," bisik ibu itu dengan lirih. Matanya tampak berkaca-kaca, namun senyuman ikhlas tersungging di bibirnya yang kering.

"Oh ... I'm so sorry ..."

"Tidak apa-apa. Kalau kejadian di malam ini akan membawa saya menemui suamiku, aku rela. Anda tahu? Saya sangat merindukannya," jawabnya. Beberapa tetes air mata tumpah membelah pipinya.

"Anda jangan bicara seperti itu. Ini hanya penyanderaan biasa. Mereka hanya menginginkan barang-barang kita. Percayalah, semua akan baik-baik saja," ujar Joan menirukan ucapan pria yang ada di sampingnya. Tangannya yang terikat menjulur meraih tangan sang ibu muda. Jemari mereka bertemu dan saling meremas untuk saling menguatkan.

"Kau sudah kumpulkan barang-barang mereka?!" tanya salah satu dari kawanan perampok itu dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dibalas anggukan oleh partner in crime-nya.

"Oke! Sekarang ambil semua barang yang menempel di tubuh mereka!!" perintahnya lagi.

Dengan pasrah, para sandera pun membiarkan bajingan-bajingan itu menyambar apapun yang dipakai mereka. Kalung, jam tangan, anting-anting, termasuk cincin platinum itu pun tak luput dari incaran mereka. Bahkan tanpa malu-malu, salah satu kawanan perampok itu mengenakan cincin tersebut di depan pemiliknya.

"Sudah selesai! Tembak mereka sekarang, jangan sisakan satu orang pun!!" perintah sang pemimpin kawanan perampok lagi.

Teriakannya sontak membuat sebagian sandera yang mengerti tercengang bukan kepalang. Sebagian lainnya yang tidak paham terlihat gelagapan dan bertanya ke sesamanya dengan raut panik, "What? What will happen next?! Hey!" 

Joan, salah satu yang paham dengan perintah itu, tampak menahan nafas dengan debaran jantung yang masif. Lagipula, bagaimana mungkin mereka bertindak sekeji itu? Jika hanya bermotif perampokan, mereka tidak perlu menghabisi sandera. Apalagi wajah mereka ditutupi kain. Bukan suatu ancaman, kan, jika mereka membiarkan para sandera itu hidup? Ini benar-benar gila! Bahkan mereka tidak mengharap tebusan sama sekali. Ada apa ini?!

Belum selesai keterkejutan itu menyengat bak aliran listrik, timah panas berukuran besar dari senapan laras panjang pun meletup satu-persatu. Diiringi jeritan ketakutan yang membahana, pelurunya melesat menembus jantung para sandera. Darah pun seketika membuncah menggenangi lantai. 

BANGG!! 

Peluru kesekian kalinya masih dimuntahkan dari senjata mematikan itu. Kali ini sang timah panas bersarang di dada kiri ibu muda pemilik cincin. Joan tidak melepaskan cengkeraman tangannya. Dia membiarkan ibu mudah itu menyungkurkan tubuhnya di pelukannya. Sepertinya Tuhan mengabulkan harapan terakhir sang ibu muda itu.

Sesaat kemudian, Joan pun menutup kedua matanya, namun tidak menunduk. Hatinya seakan tengah berbicara pada Tuhan, pertanda ia siap menghadapNya.

BANGG!! 

Timah panas terakhir pun terbenam di perut Joan. Darah yang mengucur dari tubuhnya mengiringi maut yang hendak menjemputnya. Kepala Joan membentur lantai. Tersungkur dalam posisi tengkurap. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Sementara tak jauh dari tempatnya, tampak seorang turis pria tengah meregang nyawa. Pria itu tak henti-hentinya memuntahkan darah dari mulutnya. Joan tahu, dialah bule pria yang dilihatnya dalam mimpi. Betul. Makna dari mimpi buruknya sudah terkuak sekarang. Mata Joan masih terbuka. Dari kejauhan, dia masih bisa menatap dedaunan kelapa yang meliuk disapu angin. Telinganya pun untuk terakhir kalinya masih bisa mendengar deburan ombak. Sangat damai, meski tragis.

"Kubur mayat-mayat ini sekarang! Ingat, jangan sampai meninggalkan jejak!!" perintah sang pemimpin lagi.

Tapi Joan belum mati. Dia hanya pura-pura mati meski harus merasakan nyeri hebat menghantam perutnya. Bibirnya sedikit tersenyum. Tuhan belum mengizinkannya mati. Meski keadaannya sangat menyiksa, ia yakin rasa sakit itu tidak akan membunuhnya. Senyuman di bibir Joan semakin tersungging. Dia harus bertahan. Itulah yang terlintas di pikirannya. 

Sementara suasana di ruangan hening. Joan tak mendengar suara apapun lagi. Tidak ingin membuang kesempatan, perempuan malang itu pun segera menggerakan tubuhnya. Darah yang tak henti-hentinya mengucur di perutnya sama sekali tak dipedulikannya. Yang ia pedulikan cuma satu, melarikan diri untuk mencari bantuan sesegera mungkin.

"ADA YANG MASIH HIDUP!! TEMBAK DIA!!" jerit seseorang.

Joan tersentak! Secepat kilat ia memutar kepalanya ke arah suara. Namun, secepat itu pula ujung senapan yang dicengkeram kuat itu membidik dahinya dari jarak 1cm.

BANGG!! Satu peluru lagi dari laras panjang pun melesat menembus kepala Joan.

Seperti Nightmare di episode-episode sebelumnya, LOLs. Joan melompat dari tempat tidurnya. Mimpi panjang, mimpi di dalam mimpi, mimpi bertingkat, mimpi yang merupakan vision (baca: penglihatan) itu tak pernah gagal mengejutkan para messenger-nya. Tak terkecuali Joan. Mungkin inilah mimpi paling buruk yang pernah ia jumpai dalam tidurnya. Mimpi yang memiliki pesan kuat, firasat yang hebat, dan petunjuk yang tak boleh diabaikan.

Keringat dingin mengucur semakin deras di sekujur tubuhnya. Nafasnya semakin menderu hebat. Apa yang menimpa Joan kali ini sukses membunuh logikanya, seakan ia menemukan keajaiban sekaligus kutukan dalam mimpi buruknya barusan.

Bagaimana tidak, ruangan tempat ia terjaga ini sudah tak secantik seperti saat ia memejamkan mata beberapa jam lalu. Kini, ia hanya melihat sarang laba-laba menghiasi langit-langit kamar. Debu-debu setebal karpet menyelimuti seluruh permukaan lantai. Bahkan seluruh ruangan di resort itu kini hanya tampak bak rumah hantu. Gelap, kotor, berantakan dan bau busuk khas menyengat dari seluruh penjuru. Entah bau darimana.

Setelah menenangkan hati dan pikiran yang bergejolak sedari tadi, Joan pun segera bergegas meninggalkan Pulau Terakhir. Ketakutan dan kepanikan masih menyerangnya bertubi-tubi hingga kini.

Sebelum memacu gas speedboat-nya, tatapan mata Joan menyorot ke arah resort untuk yang terakhir kalinya. Pemandangan dramatis pun tampak. Ternyata Pulau Terakhir itu adalah pulau mati. Tak ada kehidupan manusia di sana. Akal sehatnya bahkan belum mampu mempercayai semua peristiwa-peristiwa ganjil yang menimpanya sejak tadi sore. 

Ini aneh, tapi terjadi. Bagaimana mungkin indera penglihatannya bisa tertipu oleh panorama yang tampak tidak seperti kelihatannya? Bagaimana mungkin dia berbicara dengan seseorang di sana dan bahkan sempat makan malam yang membuat perutnya kekenyangan hingga sekarang? Makanan apa yang disantapnya? Tak ada ilmu yang sanggup mengungkap fenomena seperti ini. Lagi-lagi pundak Joan dibuat merinding hebat membayangkannya.


Lokasi: Pulau Lonjong, 2 jam kemudian.

"Nona Joannaaa!!! Ya Tuhan, Anda kemana saja?! Saya sangat cemas menunggu Anda sejak tadi!" pekik Gandi begitu melihat Joan merapatkan speedboat-nya.

"Mr. Gandi, saya mohon maaf! Tapi, saya terpaksa terlambat mengembalikan boat Anda." Joan menghampiri Gandi sembari menyeka keringat dingin di lehernya.

"Tidak apa-apa, Nona. Tapi Anda membuat semua orang cemas di sini. Saya sudah menyiapkan tim untuk mencari Anda jika dalam satu jam Anda tidak kembali."

"Sekali lagi maafkan saya. Tapi saya harus mengungkap kasus menghilangnya 5 orang turis itu, Pak," ujar Joan dengan nafas terengah.

"Ha?! Maksud Anda apa? Kasus itu sudah ditutup. Bagaimana cara Anda mengungkapnya? Bahkan polisi pun tidak pernah bisa menemukan jawabannya."

"Saya sudah menemukan jawabannya, Pak. Saya akan mengungkapnya. Tapi saya tidak bisa melakukannya tanpa bantuan Bapak."

"Baiklah kalau begitu. Apa yang bisa saya bantu?" jawab Gandi dengan polos, namun semangat.

"Mr. Gandi, sebenarnya saya adalah agen CIA yang sengaja datang ke sini untuk menyelidiki kembali kasus turis-turis yang menghilang itu," terang Joan.

"Oh, ya Tuhan. Sudah saya duga, Anda memang tidak terlihat seperti turis kebanyakan. Jadi Nona Joanna ditugaskan oleh pimpinan Anda untuk menyelidiki kasus itu?"

"Sebenarnya tidak, Pak. Saya datang ke sini secara pribadi. Entah kenapa, saya selalu merasakan kejanggalan dari awal. Hati kecil saya berkata, turis-turis asal Amerika itu tidak mungkin menghilang karena serangan hiu."

"Lalu, bagaimana cara kita menemukannya, Nona? Dengan senang hati saya akan membantu."

"Kita tidak perlu mencarinya lagi. Saya tahu mereka tidak pernah kemana-mana." Joan menarik nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan, "Mereka dikubur di Pulau Terakhir," Tutupnya.

Gandi tersentak. "Astagaa ... Anda yakin? Darimana anda tahu, Nona?" 

"Oh ... Umm ... Mungkin ini kedengaran tidak masuk akal. Tapi ... Saat saya sengaja berkunjung ke pulau itu untuk kepentingan penyelidikan, saya mendapat vision. Saya mengalami mimpi buruk yang mengungkapkan kejadian yang sebenarnya." terang Joan panjang lebar. 

Sebelum membuat Gandi semakin keheranan, Joan tidak berhenti membeberkan semuanya. Dari mulai ia bertemu dengan Hassib; yang dilaporkan sebagai guide yang menghilang bersama kelima turis itu; check in di salah satu kamar resort, hingga seluruh peristiwa maut yang ia lihat dalam mimpi panjangnya. Bagaimana para perampok itu menghabisi nyawa Hassib dan kelima tamu yang sedang menginap di sana.

"Ini benar-benar aneh, Nona. Tapi bagaimana pun, Nona tidak mungkin mengada-ada karena Nona mengenal Hassib. Anda bertemu dengan Hassib, Nona! Dia adalah sahabat saya dari kecil. Sejak mendengar kabar duka tentang Hassib, saya sangat terpukul. Jika Nona benar-benar bisa mengungkap kasus ini, saya tidak akan melupakan jasa Anda," pekik Gandi dengan mata berkaca. Giginya gemeretak menahan amarah dan dendam.

"Saya janji, saya akan membuktikannya. Tapi Anda harus membantu saya," jawab Joan sembari menepuk bahu Gandi.

"Apa yang bisa saya lakukan, Nona?" 

"Saya belum begitu yakin dimana titik paling tepat tempat penguburan jasad-jasad pelancong itu. Maka dari itu, besok Anda dan saya harus kembali ke sana untuk mencarinya. Ini tidak akan memakan waktu lama. Jika memang benar pernah ada penguburan masal di sana, saya pasti bisa menemukan jejaknya. Setelah itu, baru kita bisa melibatkan kepolisian untuk menindaklanjuti kasus ini," kata Joan.

"Baiklah, Nona. Kalau begitu, mari saya antar Nona ke kamar. Nona harus banyak istirahat supaya besok kembali fit," ujar Gandi masih semangat. Dia menjulurkan tangan kirinya ke arah Joan untuk mempersilahkannya jalan di depan. 

Nah, di sinilah keterkejutan Joan menemui puncaknya. Kepalanya terasa seperti diledakkan oleh senjata laras panjang tatkala ...

JOAN MENATAP CINCIN BERUKIR NAMA MALFOY ... MENYEMAT DI JARI MANIS GANDI!

Sedemikian hebatnya keterkejutan itu, hingga nyaris membuat Joan tersungkur jatuh. Nafasnya tercekat. Seluruh tubuhnya mendadak kaku seakan terimpit beton besar. Matanya menatap tajam ke arah Gandi. Kepalanya sedikit menggeleng seolah tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sosok yang begitu ia percaya ternyata ...

"Anda kenapa, Nona? Anda baik-baik saja?" tanya Gandi dengan penuh keheranan.

"Oh ... Umm, yak! Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing. Sebentar ya, saya harus mengambil tas yang ketinggalan di boat Anda," tepis Joan dengan perasaan berdebar tak karuan. Jujur, meski ia agen CIA sekalipun, situasi seperti ini baru kali ini ia jumpai seumur hidupnya. Bagaimana mungkin ia begitu bodoh membeberkan semua hasil penyelidikannya pada sang psychopat? Pelaku yang seharusnya ia ringkus.

Joan harus memiliki taktik untuk menghadapi Gandi. Setidaknya untuk langkah awal, ia tak akan menunjukkan sikap yang mungkin membahayakannya. Seorang bajingan saja mampu bersandiwara seakan-akan berduka karena kehilangan sahabat yang dibunuhnya, maka ia tak boleh kalah taktikal.

Setelah mengambil tasnya dari dalam boat, Joan kembali berdiri untuk menghampiri Gandi. Tapi tiba-tiba saja ...

BHUKK!!!

Sebuah dayung besar menghantam keras wajah Joan hingga membuatnya tersungkur jatuh. Seketika kepalanya terasa berkunang-kunang. Di dalam boat itu, darah segar mengucur di atas pelipis matanya. 

"Jadi, Anda melihat cincin ini juga di mimpi konyol Anda itu?!!" sungut Gandi sembari menunjukkan cincin platinum itu. Suaranya terdengar begitu dingin. Dia masih mencengkeram dayung itu di tangan kanannya.

"Saya tidak mengerti maksud Anda," jawab Joan sembari berusaha menghentikan pendarahan di pelipisnya.

"Saya yang tidak mengerti dengan Anda. Bagaimana mungkin agen rahasia sekelas CIA hanya mengandalkan mimpi untuk mengungkap kasus? Apa itu yang biasa dlakukan di negara Anda? Warga Anda di sana sudah banyak. Bahkan mayat-mayat dibiarkan tergeletak di pinggiran jalan dan rel kereta. Untuk apa Anda membuang-buang waktu datang ke sini hanya untuk mencari tengkorak? Menyedihkan!" umpat Gandi. Nadanya semakin naik.

"Kita bisa membicarakan ini. Saya tahu Anda tidak melakukan pembunuhan itu. Anda hanya diperalat. Saya janji, saya akan membebaskan Anda dari kasus ini." Joan berusaha mengendalikan situasi.

"Hahahahahaha ... Anda pikir saya bodoh? Saya tahu apa yang saya butuhkan, bukan kebebasan seperti yang Anda janjikan. Omong kosong! Asal Anda tahu, saya yang menggali kuburan untuk turis-turis bodoh itu. Dan apa yang membuat Anda berpikir saya akan membiarkan Anda hidup, sementara sahabat saya sendiri berani saya habisi? Anda siapa? Berlagak sok heroik, lalu datang ke sini untuk mengacaukan semuanya. Turis-turis itu mati karena orang-orang seperti Anda!"

"Apa maksud Anda?!"

"Semua karena investor asing dari negara Anda yang sudah menghancurkan bisnis pariwisata kami di pulau ini! Pulau Terakhir itu awalnya tidak berpenghuni. Sampai orang-orang berduit dari negara Anda datang ke sini, dan membangun fasilitas lengkap di pulau itu. Lalu apa imbasnya buat kami?! Pulau ini menjadi sepi pengunjung. Semua turis yang biasa datang kemari lebih memilih mengunjungi Pulau Terakhir. Bisnis perhotelan warga lokal di sini dibuat sekarat karena perbuatan mereka!!"

"Jadi itulah kenapa kalian merencanakan pembantaian itu? Untuk menutup kembali Pulau Terakhir itu?" cecar Joan. Semuanya masuk akal sekarang. Pantas para perampok itu menghabisi semua sandera. Ternyata ada motif yang jauh lebih penting dari sekedar merampas benda-benda milik mereka. Benda-benda hasil rampasan itu hanyalah bonus.

"Saya tidak pernah meragukan kecerdasan Anda."

"Tapi kenapa harus mengorbankan mereka? Mereka tidak bersalah." tanya Joan. Posisinya semakin tersudut, baik secara fisik maupun mental.

"Hah! Hidup memang tidak adil ya? Terkadang Anda harus menginjak tubuh yang tidak berdaya agar terlihat tinggi. Mereka memang tidak memiliki masalah apa-apa dengan kami. Tapi mereka adalah properti paling sempurna untuk memuluskan rencana kami. Mereka hanya sedang sial harus berada di waktu dan tempat yang salah!"

"Bagaimana dengan Hassib? Kenapa anda menghabisi sahabat sendiri? Apakah dia juga properti?" cecar Joan lagi. Dia masih harus mengulur waktu.

"Dia pengkhianat. Cuma dia satu-satunya orang yang bersedia bekerja di pulau itu. Disaat sodara-sodaranya sendiri di sini nyaris mati kelaparan, dia bersenang-senang di sana dengan menjadi budak Amerika!"

"Lalu, bagaimana dengan ..."

"Sudah cukup!! Anda sudah cukup mengulur waktu saya! Anda tahu saya harus segera menyelesaikan ini. Semua yang ada dalam posisi saya, harus melakukan hal yang sama, bukan? Tidak ada yang rela membiarkan masa depan keluarganya dihancurkan, hanya karena sebuah penglihatan yang konyol!" tutup Gandi sembari menghampiri Joan. Dia mulai mengangkat dayung itu tinggi-tinggi, dan mulai mengayunkannya ke arah Joan.

Joan tak tinggal diam. Setelah sedari tadi menyembunyikan tangan kirinya bersama tasnya, akhirnya ia berhasil membuka tas itu diam-diam untuk mengambil sesuatu. 

Sepersekian detik kemudian, sebelum dayung itu menghantam tubuh Joan, tangan kirinya bergerak lebih cepat untuk mengacungkan sepucuk pistol ke arah Gandi.

BANG! BANG!! BANG!!

Revolver bergagang cokelat itu memuntahkan tiga buah timah panas hingga bersarang di jantung Gandi. Seketika itu juga dia jatuh terjungkal, lalu mengambang di tepi dermaga kecil. 

Joan menghela nafas panjang. Matanya menatap nanar ke arah jenazah yang berdarah. Entah kenapa, ada perasaan aneh berkecamuk di dadanya kini, terutama mengenai motif pembantaian itu. Masalah investor-investor asing yang kerap menyudutkan warga lokal memang sudah menjadi persoalan klasik. Bukan hanya di Indonesia, bahkan di negara-negara maju pun masih tak kalah sengitnya.

Contoh yang paling kuno adalah warga suku Aborigin yang kalian tahu bagaimana nasibnya. Warga Indian yang semakin terpinggirkan. Warga Melayu asli di Singapore yang ter-marginal-kan. Lalu, jarang sekali kita bisa menemukan orang Bali asli bisa menempati jabatan penting di bisnis perhotelannya. Bahkan, orang-orang betawi asli yang banyak menjual tanahnya ke para investor itu, tahu sendiri, kan, bagaimana imbasnya sekarang? Jadi wajar kalau sampai menimbulkan kecemburuan sosial yang sporadis dalam kasus tertentu. 

Masalah penanam modal memang bak pedang bermata dua. Kemajuan suatu daerah karena jasa para investor terkadang harus dibayar mahal oleh pengikisan eksistensi warga lokalnya. Imbasnya, mereka harus terusir secara moral, finansial dan tentu saja sosial. Ini hanya kasus, ya. Tidak seluruhnya harus berakhir seburuk itu.

Oke, yang ini nggak usah kita bahas, terlalu rumit. Gue aja nggak terlalu paham, kok.

Yang pasti, kasus konspirasi dan pembantaian keji yang menimpa turis-turis itu bisa dituntaskan hanya lewat penglihatan. Setelah diselidiki kembali hingga melibatkan federasi USA terkait, kasus itu pun berhasil diungkap. Otak dari konspirasi itu rupanya pemilik resort Mandala sendiri. Salah seorang warga lokal yang begitu membuta hatinya hanya karena merasa kalah bersaing dalam bisnis. Mendendam, lalu membantai. Bengis, biadab, sekaligus menyedihkan.

Berangkat dari kata hati yang membisikkan kekuatan, Joanna, seorang agen CIA junior ini datang jauh-jauh dari belahan bumi lain hanya untuk menemukan jawaban atas kasus besar yang masih menggantung di udara. Mungkin karena niat tulusnya ini, Tuhan menunjukkan jalan melalui kebesaranNya. 

Sekali lagi. Kebesaran Tuhan itu ada, terpampang nyata, bahkan disaat kamu tersesat di ujung dunia.

*maaf, Syahrini. Gue pinjem stensilannya*


Sekian, ya, cermis dari gue. Mudah-mudahan mengentertain. Buat yang mau komentar, silahkan di box comment. Atau kalau mau komentar di twitter, boleh, jangan lupa hastag-nya #Nightmare3

Sampai ketemu di cermis gue berikutnya ... *cipok merosot*



33 comments:

Unknown said...

pertamakin dulu

Anonymous said...

Sumpah, juara nyol.. Top banget..
Nggak ngira kalo Gandi ternyata perampok itu, twist pol..

antokimutaku said...

keren bok

BOULLUWELL said...

Kereeeeennnnnnnnnn t.o.p b.g.t !!!!

syanoctyputri said...

J.U.A.R.A !
suka banget sama pemilihan katanya! :D

Unknown said...

kereeen nyol.. mau komen di twitter #nighmare3 tapi lagi error, yadah disini aja hehe tapi keren sumpah, logika main, imajinasi main.. coba aja nightmare 1 2 3 dijadiin film.. gue org pertama yg nonton nyol *tapi gratis* :D

Smiley boy said...

kereeenn.... kata"nya menginspirasi bwt berpuitis gila:D

luckaaaay said...

anjir keren banget nyol ceritanya !!

Unknown said...

JADIIN FILM DONG ITU CERMIS NYA!!!!!!! PLEASE!!!!!!!

camiella mielle said...

atulah keren gini cermisnya :((((

@risschan said...

overall alur ceritanya bagus, pake banget, keren lah, kaya standar operasional cermis onyol biasanya.
taapiiii, ada sedikit yg gengges nih.. :))
gini, ceritanya itu kan pulau Lonjong letaknya di ujung utara NTB ya, bahkan dekat dengan Bali (ada kalimat "Pulau Lonjong adalah satu dari sedikit pulau berpenghuni yang berjejer di perairan Bali.").
nah, kenapa lokasi The Last Island ini diceritakan sebagai pulau paling timur? Dalam salah satu dialog Hassib dan Joana disebutkan "Karena ini memang pulau terakhir yang ada di sini. Jika Nona melanjutkan perjalanan ke arah timur, Nona tidak akan menemukan pulau lagi. Di sana hanya ada perairan hiu dan pulau Papua, nun jauh di sana,"
bukankah kalo dari NTB ke arah timur masih ada pulau2 NTT dan Maluku ya sebelum sampe ke Papua?
hehehee,, maaf ya kalo yg dikritisin printilan2 yg mungkin dianggap gak penting.. saya suka kok baca cermisnya onyol, seru beneran. tapi ya itu, ada detail2 yg rasanya gengges aja gitu..
semoga kedepannya hal2 kecil yg bikin gengges kaya gitu tadi gak ada lagi ya, biar cermisnya onyol makin kece badai cetar membahana ulala *ups, maap, saya korban virus syahrini*, plus biar cepet dilirik produser buat dijadiin film *ato jangan2 malah udah nih?* :)
onyol 오빠 화이팅! \(^ ^)/



sincerely,
@risschan ^^,

Unknown said...

^^ bagus nyol!! cerimis onyol emang no 1!!! demi twitter yang bermasalah, aku rela baca cermisny disini .. pdhl credit internet uda sekarat* T.T ganbatte onyol!

WOWKonyol said...

Kamu ga bener-bener nyimak narasinya. Pulau Terakhir itu--ceritanya--letaknya jauh di utara NTB. Dari sini pulau NTT arahnya di selatan, bukan timur lagi. Next time riset narasinya lebih teliti lagi, ya.

nino purwantoro said...

Nyol, punya no.hpnya joanna gak?

-=[ricamericahehey]=- said...

asli emang kerenn nyoll :D

Anita Kurniasih said...

cermisnya keren gila nyol!
ga sia-sia minggu kemaren bolos nyermis :D
makan apa sih nyol, sampe jago gitu nyermisnya xD

Livia Styiadi said...

keren pisannn

Unknown said...

keren lah Nyol!!
coba cermis2 ente di filmkan, pasti laku!!


@HaryBJ

PetikanLagu2 said...

Keren nyol.. ayo nambah lagi cermisnya :D

Unknown said...

wih.. Gila, keren banget CerMisnya Nyol. Semoga WOWkonyol makin melesat jadi yg terdepan dah ^_^

Unknown said...

nyaiissss

Aghnam said...

Percaya atau tidak, setiap pelajaran B. Jerman guru gue selalu bacain cermis dari sini
#WOWKonyol

Unknown said...

kereeeeenn

vilayustira said...

i love ur CERMIS onyol... :3

guzzhura said...

Kerennn euyy . Ini kalo cermis lu difilmn pasti banyak yg nonton. Eh btw no beha joanna berapa nyol? Kalo bejemur pake bikii ga? :D


@guzzhura

novi hadijah said...

Nyooolll.... mana yang nightmare1 nya??? kok gak ada dicariin.. ketagihann niiihh...

Anonymous said...

wahahah! cerita lo emang beneran mantep nyol!

Unknown said...

Awas lo ntar cerita misteri bgini tau2 nongol jd ftv.

Unknown said...

wiiii~ keren! keren! keren!
nyasar wkt blogwalking g nyangka ktemu ini :3
rasanya jadi pen ngebabat investor di papua sana *nyengir

Unknown said...

Nyol, lu nulis Cermis gini dapet inspirasi dari mana sih? Lu udah pernah ke Pulau Lonjong ya? muka orang-orang disana pada lonjong gak nyol? :s

Visit my blog : http://ichateen.blogspot.com/
Butuh komentar dan saran dari para sesepuh :)

Unknown said...

wkkwwkkwk koplak wkwkw

Muhammad Ridwan said...

kok gak diselidikin mayat yg dikubur nyol?

LISNA said...

halo nyol

Post a Comment